Bagi politik internasional, 2012 mungkin akan menjadi batu pijakan penting dalam upaya mengatasi masalah lingkungan dunia, melalui Konferensi PBB untuk Pembangunan Berkelanjutan di Rio de Janeiro, Brasil. Meski harapan baru selalu ada, pesimisme yang muncul hampir selalu lebih banyak jumlahnya. Hal ini terjadi bukan tanpa alasan.
Ketika perubahan iklim mengancam banyak negara-negara berkembang dan negara-negara yang memiliki kondisi geografi yang rentan (hutan, negara kelautan), ancamannya seolah dua kali lebih besar. Lebih buruknya, banyak negara yang terbilang maju dan kaya justru enggan mengulurkan tangannya untuk membantu mereka yang menjadi korban terburuk.
Banyak negara industri yang berdalih bahwa mereka melindungi kepentingan industri dan ekonomi mereka, sehingga masalah lingkungan bisa dikesampingkan. Pandangan ini memunculkan kembali salah satu pertanyaan klasik, “Apakah manusia hanya hidup dari roti saja?” Artinya, apakah nilai-nilai manusia dengan mudah dapat dipertaruhkan hanya dengan menjamin kesejahteraan ekonominya saja, tapi menanggalkan segala upaya untuk hidup lebih baik, di antaranya dengan memiliki lingkungan hidup yang baik.
Pertaruhan masa depan ini sebetulnya menghasilkan pertanyaan berikutnya: apa yang akan kita tinggalkan bagi generasi berikutnya? Jika manusia di masa kini bisa hidup bersenang-senang sambil mengorbankan dunia yang tidak ada duanya ini, maka manusia pada beberapa generasi berikutnya hanya memiliki dua pilihan: mati di sini, atau mencari planet lain untuk tinggal.
Upaya mempertaruhkan masa depan dunia selalu sulit. Dalam salah satu konferensi lingkungan hidup di Bali lima tahun lalu, Menteri Negara Lingkungan Hidup RI Rachmat Witoelar menitikkan air matanya saat upaya menciptakan kesepatakan terganjal jalan buntu, khususnya karena negara-negara maju seperti Amerika Serikat. Belum lagi penolakkan negara-negara tersebut untuk menandatangani sejumlah kesepakatan internasional seperti Protokol Kyoto. Pada tahun 2008, ketika Cina menjadi tuan rumah Olimpiade, butuh tekanan internasional yang besar untuk membersihkan udara pabriknya yang kotor, meski hanya untuk 1 minggu saja.
Pada pidato tahunan State of the Union di hadapan Kongres, Januari silam, Presiden Barack Obama mencanangkan gerakkan industri bersih dan hijau yang ingin menciptakan ekonomi negara maju berdasarkan teknologi berwawasan lingkungan. Meski demikian, pertanyaan berikutnya muncul: apakah Amerika Serikat betul-betul peduli dengan kondisi seluruh dunia, atau hanya memikirkan kepentingan pragmatis negaranya sendiri?
Tekanan semakin besar bagi negara-negara maju untuk mencermati isu lingkungan dan memberikan dukungan kepada negara-negara yang selalu menjadi korban terparah perubahan iklim. Sejumlah negara memang telah melakukannya, tapi negara-negara yang ‘langganan’ menjadi ‘penyumbang’ emisi gas terbesar di dunia belum melakukan upaya yang cukup untuk mengatasi masalah ini – apalagi membantu negara-negara yang menjadi korban.
Meskipun upaya kita mengenal istilah think globally, act locally, suka tidak suka masa depan dunia ini turut ditentukan oleh percaturan politik internasional. Negara-negara maju saling berhadapan dengan negara berkembang, kadang saling menyalahkan dan saling mendukung. Sayang bagi banyak negara isu ini belum mendapatkan prioritas teratas, sehingga belum muncul upaya bersama yang disepakati seutuhnya oleh semua negara di dunia untuk menangani masalah lingkungan.
Akhirnya, dengan kekuatan kita sebagai masyarakat, kita hanya bisa memberikan tekanan dan dorongan kepada mereka yang memegang kekuasaan. Kita bisa memulai upaya menjaga lingkungan sekitar kita dan mencegah kerusakkan lingkungan yang lebih masif, tapi pada akhirnya bagian besar dari nasib dunia ini akan ditentukan oleh proses politik. Politik belum pernah sepenting hari ini dalam menentukan masa depan dunia ini, khususnya dalam masalah lingkungan.
Leave a Reply