Hari ini, delegasi Indonesia untuk PBB, diwakili oleh Menlu Marty Natalegawa, menyampaikan laporan hak asasi manusia di depan Konsil Hak Asasi Manusia PBB (UNHRC). Salah satu topik yang diangkat merupakan isu terhambatnya kebebasan beragama yang belakangan menjadi sorotan nasional dan dunia. Krusialkah masalah ini? Apa yang menjadi kunci?
Fakta bahwa masalah toleransi beragama mendapatkan perhatian dunia internasional tentu menjadi langkah mundur. Ingat lagi bagaimana Indonesia dibangga-banggakan sebagai contoh bagi negara-negara lain dalam hal toleransi beragama, dan bagaimana keberagaman bisa bersatu dengan demokrasi. Beberapa poin yang dibicarakan, seperti dikutip dari KontraS:
- Tidak ada negara di dunia selain Indonesia yang memiliki keragaman budaya dan nilai toleransi beragama seperti di Indonesia;
- Indonesia menghargai semua agama dan tidak akan ikut campur dengan urusan agama pribadi;
- Indonesia mengakui 6 agama resmi;
- Pemerintah Indonesia terlalu sadar tentang kasus-kasus intoleransi agama;
- Akan tetapi, pengalaman intoleransi agama tidak hanya terjadi di Indonesia;
- Pemerintah Indonesia menjamin perlindungan untuk kelompok minoritas agama seperti Ahmadiyah untuk dapat mempraktekkan agama/keyakinan;
- Indonesia akan terus memberi perhatian lebih kepada isu-isu intoleransi dan memberikan jaminan hukum.
Mari kita telaah satu persatu poin-poin di atas.
Paling beragam+Paling toleran=Indonesia?
Poin ini begitu menarik karena predisposisi bahwa Indonesia adalah negara dengan keragaman budaya dan toleransi beragama paling wahid. Pertanyaannya, benarkah demikian?
Tentu turut menjadi pertanyaan definisi toleransi bagaimana yang kita bicarakan, karena harusnya ada banyak parameter untuk sesuatu yang sangat kualitatif seperti ini. Dengan mengatakan “tidak ada negara selain Indonesia” maka kita terpaksa membandingkan Indonesia dengan negara lain. Untuk hal ini, tentu sah kita membandingkan dengan satu atau dua contoh.
Mari lihat Amerika Serikat. Amerika Serikat tergolong negara melting pot dengan jumlah agama dan kepercayaan yang ada begitu banyak: Kristen Protestan/Katolik/Ortodoks/Gereja Inggris, Islam, Yahudi, Hindu, Buddha, kepercayaan-kepercayaan, dan banyak lainnya. Amerika Serikat sebetulnya memiliki kesamaan prinsipil yaitu tidak mengenal agama negara (state religion), tapi menyadari dan menyatakan dalam prinsip kenegaraannya bahwa ada suatu entitas tertinggi yang mutlak dan pasti yang dikenal sebagai Tuhan (Deity/Supreme Being). Hanya saja, Amerika Serikat menerapkan garis yang jelas mengenai pemisahan Gereja dan Negara (Separation of Church and State), sehingga negara pada dasarnya tidak berhak memberikan larangan, pengharaman, fatwa sesat, bantuan finansial, favor atau disfavor terhadap suatu kelompok tertentu.
Di dalam kelompok Kristen, contohnya. Di Amerika Serikat terdapat beberapa kelompok yang mengidentifikasi diri sebagai Kristen tapi dianggap sebagai ‘berbeda secara teologis’ dari aliran utama Kristen (mainstream Christianity), sebut saja kelompok Mormonisme (The Church of Jesus Christ & the Latter Saints) dan Saksi Jehova (Jehovah Witness). Menyebut mereka sesat mungkin bisa saja dengan mudah, tapi mereka hanya dapat disebut sebagai ‘berbeda secara teologis’ sementara hak mereka untuk beribadah tetap dilindungi oleh Konstitusi AS serta puluhan amandemennya. Lihat saja contoh Mitt Romney, seorang Mormon, yang kini menjadi calon kuat presiden AS dari Partai Republik. Sebagai satu contoh menarik yang baru saya temukan beberapa hari lalu, seorang teolog terkemuka AS, Wayne Grudem, menyatakan bahwa Mitt Romney ada di antara kaum Kristen yang paling taat, meskipun berbeda secara teologis dengan dirinya, dan patut mendapat dukungan darinya!
Apakah betul Indonesia paling beragam dan paling toleran? Memang jika melihat kalimat di atas ada sedikit jebakan: paling beragam budayanya. Entah apa betul yang dikatakan demikian, tapi patut juga menjadi pertanyaan. Rasa-rasanya sah bagi saya kalau bilang Amerika Serikat punya toleransi beragama terbaik di dunia. Di Indonesia, dengan mudahnya representasi pemerintah mengatakan suatu aliran kepercayaan sebagai sesat, meskipun saudara-saudara seagamanya mengatakan sebaliknya!
[Catatan: tentu ada beberapa kelompok yang akan berpikir betapa jauhnya Amerika Serikat dan Indonesia, secara geografis maupun sosial-budaya. Poin saya adalah meskipun Indonesia dan Amerika Serikat secara struktur kebudayaan mungkin berbeda, terdapat pokok-pokok sosial kemanusiaan yang senada, dan harusnya mendorong Indonesia kepada arah toleransi yang lebih baik.]
Menghargai semua agama dan tidak ikut campur
Penggunaan kata-kata yang tricky! Frasa pertama, ‘menghargai semua agama’ bisa mengarah pada dua arah, yang sebetulnya punya efek yang sama:
- Semua agama tanpa terkecuali: Kelihatannya jelas belum. Apa yang terjadi dengan kelompok-kelompok seperti Muslim Syiah atau kelompok Ahmadiyah turut menjelaskan.
- Semua agama resmi yang diakui: Kelihatannya belum juga. Masih banyak konflik horisontal bahkan antar negara yang diakui. Masalah GKI Yasmin, atau masalah-masalah sejenis masih banyak terjadi.
Masalah ini kemudian menjadi lebih menarik ketika menyangkut yang tidak beragama. Belum lama seseorang tersandung masalah lantaran mengaku dirinya tidak beragama (ateis). Rupanya hak asasi manusia di Indonesia baru mengakui hak asasi manusia untuk memeluk agama dan keyakinan (yang diakui pemerintah), bukan hak untuk tidak memeluk salah satunya!
Mengenai masalah ‘tidak ikut campur’ pun tidak memiliki kedalaman substansi yang jelas. Masalah pribadi apakah, tidak ikut campur sampai manakah yang dimaksud. Apakah negara masih ikut campur untuk urusan pribadi?
Indonesia mengakui 6 agama resmi
Paling menarik! Istilah “agama resmi” rupanya merupakan suatu miskonsepsi menarik. Mari bersama-sama memperhatikan ‘sumber penyakitnya’, yaitu Penetapan Presiden (Penpres) No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Bagian menarik terdapat pada penjelasan Pasal demi Pasal, yaitu Pasal 1:
Dengan kata-kata “Dimuka Umum” dimaksudkan apa yang lazim diartikan dengan kata-kata itu dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan khong Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan Agama- agama di Indonesia.
Karena 6 macam Agama ini adalah agama-gama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini.
Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain, misalnya: Yahudi, Zarasustrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Mereka mendapat jaminan penuh seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 dan mereka dibiarkan adanya, asal tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam peraturan ini atau peraturan perundangan lain. (penekanan ditambahkan)
Perhatikan dua bagian yang ditekankan di atas:
- “… dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia… ” harusnya hanya menyatakan prioritas, bukan sebagai fundamen eksklusivitas. Maka di sini harusnya dibaca: “Enam agama ini dipastikan mendapat jaminan sesuai dengan pasal 29 (2) UUD 1945 serta bantuan dan perlindungannya.”
- “… Ini tidak berarti bahwa agama-agama lain dilarang di Indonesia.” Inilah hal yang menarik. Bahkan penjelasan Penpres ini menyebutkan satu agama yang nyaris tidak diketahui orang modern: Zarasustrian (Zoroastrianism). Wajib dibaca dengan sangat cermat bahwa membaca dokumen di atas tidak pernah ada definisi “agama resmi”, apalagi “dilarang”.
Dengan demikian, kita baru saja berbohong terhadap mandat UUD 1945 dan hukum kita sendiri di dunia internasional, betul?
Pemerintah sadar akan intoleransi? Terus memberikan perhatian?
Entahlah apa yang dimaksud di sini. Mungkin juga di sini ‘sadar’ artinya pemerintah masih membaca koran dan menyaksikan televisi setiap hari. Sayangnya, kesadaran hanya bertahan pada aspek normatif, bukan aspek praktis. Masih ada tindakkan kekerasan atas nama agama, di mana kekerasan bisa duduk di atas hukum, kelompok-kelompok agama sulit mendirikan tempat ibadah mereka, hanya sedikit dari contoh masalah yang tidak diselesaikan sampai detik ini.
Memberi perlindungan kepada minoritas
Insiden Cikeusik sebetulnya sudah menjadi self-explanatory bahwa hal ini sebetulnya belum terjadi. Kata ‘minoritas’ sendiri menjadi menarik karena tidak begitu mendalam menjurus pada kelompok mana, apakah kelompok agama atau sekte. Tentu wajib dipertanyakan di manakah ‘perlindungan kepada minoritas’ yang dimaksud. Bukan hanya pemerintah pasif dalam hal ini, tapi pemerintah juga pasif dalam mencegah dan menindak mereka yang melakukan penyerangan pada minoritas.
Di sinilah muncul fakta bahwa hukum tidak mampu melindungi hak asasi manusia di Indonesia. Padahal konstitusi kita (UUD 1945) sepanjang pasal 28 menjelaskan panjang lebar hak asasi manusia yang dilindungi oleh negara, bahkan pasal 29 secara khusus menyebutkan hak asasi beragama secara bebas. Sialnya, negara menggunakan ‘senjata ampuh’ yang sangat ‘lembek’ yaitu bagian dari pasal 28 yang menyebutkan bahwa hak asasi manusia dapat dibatasi selama dianggap perlu untuk mencegah benturan terhadap hak asasi manusia (yang di Indonesia disebut ‘kewajiban asasi manusia’, yang padanan dalam bahasa Inggrisnya belum pernah saya dengar). Anehnya, menggunakan ‘senjata’ ini, aktivitas beribadah bisa dilarang, tapi aktivitas kekerasan atas nama agama justru menginjak-injak hukum dengan bebas.
Simpulan
Sederhananya, kasihan politik luar negeri kita dalam hal ini. Hak asasi manusia yang sedang kita bangga-banggakan dalam transisi yang sehat menuju demokrasi yang dewasa, Indonesia justru mendapat perhatian dunia internasional mengenai pelanggaran-pelanggaran HAM. Dalam hal ini sekalipun, negara tidak mampu memberikan keterbukaannya terhadap masalah tersebut, tapi justru muncul defensif tanpa latar belakang fakta kelam yang jelas.
Demikian, mari kita tunggu langkah pemerintah yang nyata untuk menghambat, mencegah, dan menghilangkan kejadian intoleransi agama di Indonesia. Tanpa pluralisme tidak akan ada Pancasila, di mana tanpanya tentu tidak ada Indonesia. Sudah menjadi hakikat kelahirannya Indonesia menjadi negara penuh keragaman. Tentu jika melihat hal ini, para founding fathers and mothers Indonesia akan menangis di alam sana, melihat negara yang sulit dipersatukannya kini mengalami pertumpahan darah karena konflik di antara dirinya sendiri.
Apapun agama dan kepercayaanmu, bahkan jika dirimu tidak memiliki satu agama sekalipun, mari berdoa dan berharap bersama untuk Indonesia yang damai dan toleran bagi seluruh umat beragama. Kita membutuhkannya.
Leave a Reply