Apa yang Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tuliskan dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia ASEAN (ASEAN Human Rights Declaration, AHRD) masih sangat jauh dari cita-cita ideal untuk penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Hal ini bukanlah suatu kejutan, mengingat AHRD merupakan cerminan sempurna berbagai ‘kekurangan’ dari ASEAN sebagai sebuah organisasi kerjasama kawasan: tidak ada sesuatu yang bisa disebut ‘universal’, karena bagi ASEAN, kedaulatan suatu negara berada lebih tinggi dibandingkan otoritas dari organisasi tersebut.
Mari ambil contoh Prinsip Umum (General Principle) nomor 11, yang dapat kita anggap sebagai sebuah pertentangan: bahwa hak hidup seseorang dilindungi oleh hukum, dan pada saat yang bersamaan hukum dapat membenarkan adanya pengurangan hak yang sama. Prinsip ini dengan demikian menyebutkan bahwa tidak ada apapun yang universal, apalagi untuk menyebut adanya hak-hak yang tidak dapat dicabut dalam kondisi apapun (non-derogable right), di mana hukum, yang diciptakan oleh manusia, memiliki kekuatan untuk membatasi hak orang lain untuk hidup.
Contoh di atas adalah cerminan dari pandangan paradoksal ASEAN terhadap hak asasi manusia, di mana AHRD menyebutkan bahwa hak asasi manusia adalah, “… diberikan… tanpa adanya pembeda-bedaan apapun, seperti ras, … agama, pandangan politik atau lainnya, status ekonomi, [Prinsip Umum 2] … (mesmi demikian) harus dengan mempertimbangkan konteks kawasan dan nasional, dengan melihat perbedaan latar belakang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, sejarah, dan keagamaan [Prinsip Umum 7].” Pandangan ini saja dapat membenarkan gagasan bahwa AHRD tidak sedikitpun mendekati cita-cita perlindungan hak asasi manusia yang lebih baik bagi masyarakat ASEAN.
Menurut sudut pandangn ASEAN, apa yang dapat dianggap sebagai kekurangan dari AHRD justru akan dilihat sebagai pemenuhan dari kepentingan ASEAN sebagai sebuah organisasi. Sejak lahirnya Piagam ASEAN (ASEAN Charter) pada tahun 2007, non-interevensi dan kedaulatan setiap negara anggota diletakkan jauh di atas kepentingan baik bersama seluruh kawasan, dan dengan demikian menafikan adanya peran lebih besar dari ASEAN terhadap negara-negara anggotanya. Ditambah lagi, ketiadaan institusionalisasi ASEAN, tanpa adanya organisasi yang cukup kuat dengan otoritas menjadikan ASEAN tidak lebih dari sebuah kelompok permusyawaratan, dengan mengembalikan sebagian besar (jika bukan seluruh) perdebatan kembali ke negara masing-masing.
“Memadainya” AHRD dalam perspektif ASEAN tampak dari bagaimana ASEAN menyerahkan kembali perlindungan hak asasi manusia kepada bagaimana masing-masing negara melihat perlindungan hak asasi manusia tersebut, termasuk melalui hukum nasional dan sistem politik masing-masing. Inilah yang disebut sebagai kedaulatan dan non-intervensi dalam ASEAN, yang sangat disenangi oleh organisasi kerjasama kawasan ini. Di sisi lain, berbagai pengamat tidak dapat mencerna bagaimana ASEAN memandang pantas bagi hak-hak universal (yang seharusnya tidak dapat dicabut dalam kondisi apapun) dapat ditaklukkan dalam pertimbangan-pertimbangan semacam ini.
Untuk menyimpulkan, pertanyaan apakah AHRD sudah cukup menjangkau perlindungan hak asasi manusia bagi warga ASEAN, harus dijawab dengan tegas, “Tidak.” Sebuah pandangan paradoksikal akan ditawarkan oleh ASEAN dengan alasan patuh kepada prinsip-prinsip kerjasamanya. Meski demikian, dalam kenyataannya, untuk mengatakan AHRD “cukup” adalah sebuah pengkhianatan terhadap upaya menjaga kepentingan warga ASEAN dalam perlindungan hak asasi manusia.
Tulisan ini, dalam bahasa Inggris, ditulis untuk sebuah acara, “The ASEAN Human Rights Declaration: Does It Go Far Enough”, sebuah diskusi yang diadakan oleh Misi Diplomatik Amerika Serikat untuk ASEAN di @america pada 25 Februari 2013, dan terpilih dari sejumlah esai lainnya untuk didiskusikan pada acara tersebut. |
Leave a Reply