Position paper ini telah dipresentasikan dalam Simposium Hubungan Internasional “Menjawab Tantangan Hubungan Internasional dalam Sketsa Kontemporer” di Universitas Paramadina, 7-8 November 2013.
TRANSISI KEKUATAN GLOBAL
Position Paper
Keberadaan ‘kekuatan’ (power) sebagai sesuatu yang alami dalam hubungan internasional. Ditinjau dari perspektif manapun, perbedaan yang terdapat di antara kekuatan-kekuatan yang saling bersaing merupakan salah satu faktor terpenting yang mendominasi hubungan internasional sebagai fenomena atau sebagai kajian keilmuan.
Bangkitnya Cina sebagai kekuatan yang cukup terpandang, baik secara regional maupun global, membuka kembali diskusi dan perdebatan mengenai dinamika dan pergeseran yang terjadi pada konfigurasi kekuasaan. Amerika Serikat tentu dipandang sebagai kekuatan yang sangat besar, bahkan sebagai hegemon, paska Perang Dingin (1945-1989). Meski demikian, statusnya sebagai kekuatan global kini ditantang oleh Cina yang dianggap sedang berpacu untuk menyaingi kekuatan Amerika Serikat. Dengan demikian, isu transisi kekuatan global menjadi sangat relevan untuk dibahas.
Position paper ini akan membahas pandangan penulis mengenai isu transisi kekuatan global, termasuk tinjauan dari aspek historis, relevansinya di masa kini, dan bagaimana isu ini dapat memengaruhi cara kita memelajari hubungan internasional di masa depan.
Kekuatan Global
Transisi kekuatan global merupakan salah satu fenomena alami dalam hubungan internasional, dan telah terjadi beberapa kali. Meski demikian, penting bagi kita untuk memberikan pemahaman baru mengenai bagaimana transisi kekuatan global terjadi, khususnya dengan memandang pada cermin sejarah.
Dalam pandangan umum mengenai ‘kekuatan global,’ kita akan menemukan beberapa nama yang mudah dikenal, misalnya Imperium Romawi, Kekaisaran Cina, Britania Raya, dan khususnya Amerika Serikat di masa modern. Menurut penulis, tidak semua dari kekuatan-kekuatan tersebut dapat disebut sebagai ‘kekuatan global,’ mengingat perbedaan dari konstruksi terhadap dunia yang ada di masing-masing era.
Pada sebagian besar sejarah dunia, masing-masing kekuatan memandang dunia dengan cara yang berbeda-beda. Misalnya, Kekaisaran Cina memandang dunia dengan dirinya sebagai pusat (yang dikenal sebagai kerajaan pusat atau zhongguo) dan negara-negara di sekitarnya seperti satelit yang mengelilinginya—dengan demikian Cina dapat dianggap sebagai kekuatan dunia menurut perspektif Cina (karena Cina tetap menjadi kuat di kawasannya baik di masa Dinasti Qin (221-206 SM) hingga Dinasti Qing (1644-1912 M).[1] Kita juga dapat melihat pada Imperium Romawi, ‘menguasai dunia’ yang dimaksud adalah seluruh Eropa, dengan cara yang mirip seperti bagaimana Kekaisaran Cina memandang dunia pada masanya. Dengan memandang hal tersebut, terdapat berbagai kekuasaan yang patut diperhitungkan, seperti Imperium Mongol, yang pernah menguasai sebagian besar Asia dan Eropa Timur, Kekaisaran Ottoman, bahkan Kerajaan Sriwijaya yang pernah menjadi kekuatan maritim yang diperhitungkan di kawasannya.
Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa lalu sulit untuk mengatakan bahwa terjadi transisi kekuatan antara kekuatan-kekuatan tersebut, karena kebanyakan dari kekuatan ini sebetulnya menguasai dunianya pada masa yang hampir bersamaan. Misalnya, ketika Kekaisaran Ottoman berjaya (1299-1923 M) pada dunianya, secara bersamaan terdapat dua dinasti besar di Kekaisaran Cina, yaitu Dinasti Ming (1368-1644 M) dan Dinasti Qing (1644-1912 M), Imperium Romawi Suci, Imperium Rusia, dan tentunya Britania Raya. Dengan demikian, sampai pada tahap ini sulit untuk menyebutkan ada suatu kekuatan global, kecuali menjadi kekuatan dunia pada konstruksi dunia masing-masing, apalagi jika menyebut adanya transisi kekuatan global ketika kebanyakan kekuatan tersebut berkuasa pada waktu yang hampir sama.
Penulis berpendapat bahwa Britania Raya adalah kekuatan global sejati pertama dalam sejarah, khususnya menimbang besarnya cakupan pengaruh yang dimiliki imperium ini dari satu ujung ke ujung dunia lainnya. Adage lama yang menyebutkan bahwa matahari tidak pernah terbenam di imperium Britania Raya (the sun never sets in the British Empire) menunjukkan luasnya pengaruh imperial Britania Raya ke seluruh dunia. Hal ini menunjukkan suatu perbedaan dari pandangan-pandangan kuno mengenai dunia: akhirnya kita memahami dunia dalam pemandangan yang kita kenal di masa kini, seluruh lima benua dan lain-lain yang kini kita pahami sebagai sesuatu yang global. Pemahaman ini tentu sudah lebih jauh dibanding pandangan kekuatan kuno yang hanya memandang dunia sebagai dirinya dan beberapa negara di sekitar sebagai bawahannya.
Amerika Serikat tentu juga layak disebut sebagai kekuatan global karena pengaruh yang dimilikinya di seluruh dunia. Meskipun tidak menguasai berbagai belahan dunia secara fisik seperti yang dilakukan Britania Raya pada abad ke-19, pengaruh global Amerika Serikat tidak terelakkan. Tidak hanya pengaruh, keberadaan mereka juga terlihat meskipun dalam aspek yang berbeda, misalnya pengiriman pasukan atau dalam pengaruh ekonomi melalui perusahaan multinasional.
Kembali, dalam konteks Britania Raya dan Amerika Serikat, mereka adalah kekuatan global yang sejati bukan karena mereka lebih kuat jika dibandingkan kekuatan-kekuatan masa lalu, tapi karena pandangan global yang mereka miliki lebih menyeluruh dibanding kekuatan-kekuatan masa lalu. Dengan demikian, dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya term ‘kekuatan global’ sangat tergantung pada persepsi dunia yang dimiliki masing-masing kekuatan.
Bagaimana Transisi Kekuatan Global Terjadi
Transisi kekuatan global terjadi ketika konfigurasi kekuatan yang ada tidak hanya sekedar sebuah ‘pasar bebas’ (free market) di mana berbagai negara dapat dengan mudah masuk ke ‘pasar’ tersebut dan ‘bersaing.’ Tentu transisi kekuatan global membutuhkan sebuah status, sebuah kedudukan yang bisa didapatkan secara kompetitif di mana terdapat status ‘lebih tinggi’ dan ‘lebih rendah.’ Dengan demikian, bisa didapatkan suatu kekuatan yang memang berjuang lebih untuk mendapatkannya.
Meski demikian, patut untuk disadari bahwa menjadi lebih saja tidak cukup. Menurut Penulis, status kekuatan global merupakan suatu konstruksi status yang diberikan (ascribed status) yang tidak hanya sekedar menjadi yang paling besar di antara yang lainnya, tapi juga memenuhi berbagai kriteria yang menjadikannya layak disebut kekuatan global. Di samping berjaya dalam segala aspek, kekuatan tersebut juga harus mampu untuk tidak hanya memengaruhi kekuatan-kekuatan lain dan negara-negara lain untuk takluk pada keinginannya, dan membuat negara-negara lain bergantung padanya. Terlebih lagi, status kekuatan global memiliki biaya yang luar biasa mahal, dan belum tentu suatu negara mau memenuhi biaya dan pengorbanan yang dibutuhkan, meskipun negara tersebut memiliki kemampuan yang cukup. Syarat tersebut akan membuat negara tersebut berdiri lebih tinggi di atas yang lainnya.
Amerika Serikat tampak telah memenuhi syarat-syarat tersebut. Statusnya sebagai kekuatan global dapat dipertanggungjawabkan bukan hanya karena Amerika Serikat berada di atas negara-negara lainnya dalam berbagai hal, tapi karena Amerika Serikat dapat menyebarkan pengaruhnya ke seluruh dunia, dan banyak negara juga terus bergantung pada Amerika Serikat. Di sisi lain, jika kita mengamati Cina dan kebangkitannya dalam beberapa tahun terakhir, cukup sulit untuk mengatakan bahwa Cina dapat menyamakan apa yang Amerika Serikat berhasil capai dalam beberapa puluh tahun setelah Perang Dunia II (1939-1945). Tidak hanya Cina harus bersaing untuk mengatasi Amerika Serikat dalam banyak aspek seperti ekonomi dan militer, tapi juga Cina belum mampu memberikan pengaruh sebesar Amerika Serikat, dan khususnya tidak banyak negara yang benar-benar bergantung pada Cina.
Dengan demikian, bagaimana mungkin transisi kekuatan global dapat terjadi? Hal tersebut baru mungkin jika Cina mampu memenuhi syarat-syarat yang wajib dimiliki suatu kekuatan global, ditambah keinginan dan realisasi yang kuat untuk mencapai status tersebut. Kalaupun Cina kini telah mampu bersaing dengan Amerika Serikat dalam beberapa aspek tertentu, kenyataannya Cina belum memiliki dorongan untuk menjadi kekuatan global yang dapat disetarakan dengan Amerika Serikat, tentu karena Cina masih lebih mementingkan stabilitas politik dalam negeri terlebih dahulu, dengan peran internasional yang lebih terbatas.[2]
Transisi Kekuatan Global dan Studi HI Modern
Meski tampaknya transisi kekuatan global akan sulit untuk terjadi dalam beberapa tahun ke depan, bagi Penulis terdapat satu pertanyaan yang cukup menarik, bagaimana transisi kekuatan global akan memengaruhi studi HI di masa modern ini. Menurut Penulis, seluruh studi HI modern akan merasakan dampak yang cukup signifikan jika transisi kekuatan akan terjadi dari Amerika Serikat kepada suatu kekuatan global lainnya.
Selama ini, sulit untuk dipungkiri bahwa studi HI merupakan sebuah studi ‘Amerika,’ atau berbau pengaruh Amerika Serikat. Dalam kacamata Penulis, setidaknya sebagian dari studi HI merupakan studi mengenai Amerika Serikat dan caranya sebagai sebuah kekuatan global berperan dalam hubungan internasional, dengan negara-negara lain diajak untuk mencontoh Amerika Serikat sebagai ‘aktor negara ideal’ hubungan internasional.[3] Kebanyakan teori yang ditawarkan studi HI berasal dari tradisi pemikiran Amerika Serikat, dan status Amerika Serikat juga dipelajari sebagai sebuah kekuatan besar. Negara-negara juga dianggap mementingkan kepentingan yang diterjemahkan dalam kuasa (interest defined in terms of power),[4] yang sangat dicerminkan oleh Amerika Serikat.
Sangat mungkin untuk disimpulkan bahwa status Amerika Serikat sebagai kekuatan global memberikannya hak dan kemampuan untuk ‘menulis’ studi HI. Hampir sama dengan adage lama yang menyebutkan bahwa sejarah ditulis oleh para pemenang (history is written by the winners), Amerika Serikat sebagai ‘pemenang’ dari kontestasi kekuatan global pada abad ke-20 kemudian menulis formalisasi studi HI dipandang dari kacamata Amerika Serikat.
Jika Cina mampu menyelesaikan transisi kekuatan global dari Amerika Serikat kepada dirinya, sangat mungkin terjadi perubahan atau perkembangan pada studi HI di masa depan. Kini, di akademisi HI Cina terdapat berbagai perspektif baru yang berangkat dari tradisi klasik HI tapi mendapat pengaruh Cina, seperti misalnya perspektif Chinese Realism.[5] Tidak hanya masalah perspektif, bagaimana Cina melakukan transisi kekuatan global juga sangat mungkin memberikan pandangan yang segar terhadap studi HI di masa depan. Kini Cina menganggap kebangkitan dirinya sebagai kekuatan global dengan sebutan “perkembangan damai” (peaceful development), berbeda dengan Amerika Serikat yang dikenal tidak memberi ampun terhadap siapapun pesaingnya sebagai kekuatan global.
Dengan demikian, terdapat probabilitas yang besar akan terjadinya perubahan perspektif pada studi HI di masa depan jika transisi kekuatan global benar-benar terjadi. Akankah Chinese Realism menjadi sebuah perspektif yang signifikan jika Cina menjadi kekuatan global, atau Teori Mandala menjadi signifikan jika India menjadi kekuatan global? Di masa kini kita mungkin tidak tahu, tapi menurut Penulis, terdapat kemungkinan yang besar jika kekuatan global masa depan ini dapat mendefinisikan ulang studi HI untuk berangkat dari sifat ‘Amerika-sentris’nya.
Simpulan
Dengan melihat uraian di atas, posisi Penulis mengenai isu transisi kekuatan global adalah sebagai berikut:
1) Isu transisi kekuatan global merupakan isu yang sangat penting dan relevan untuk dibahas dalam perkembangan studi HI di masa modern;
2) Kekuatan global di masa lalu tidak dapat disebut sebagai kekuatan ‘global’ yang sejati, karena kekuatan-kekuatan tersebut terbatas pada konstruksi dunia pada masanya;
3) Britania Raya (khususnya pada abad ke-19) dan Amerika Serikat kini merupakan contoh kekuatan global yang sejati;
4) Untuk menjadi kekuatan global, tidak hanya suatu negara harus menjadi terbaik dalam segala aspek, tapi negara tersebut juga harus mampu memengaruhi negara lain, menciptakan ketergantungan, dan bersedia membayar biaya mahal dan pengorbanan menjadi sebuah kekuatan global. Dengan demikian, transisi kekuatan global baru dapat terjadi jika syarat-syarat tersebut terpenuhi;
5) Cina sampai kini belum pada jalur yang tepat untuk dapat melakukan transisi kekuatan global, karena belum memenuhi syarat-syarat tersebut;
6) Jika transisi kekuatan global terjadi, sangat mungkin pengaruhnya akan terasa sampai kepada cara kita memelajari hubungan internasional melalui studi HI.
[1] Martin Jacques, When China Rules the World, 2nd Edition, London: Penguin, 2012, h. 301-304
[2] Menurut seorang akademisi, “Cina bahkan tidak mampu mengurus dirinya sendiri—bagaimana ia dapat mengurusi seluruh dunia?” Seperti dikutip dalam David Shambaugh, China Goes Global: The Partial Power, New York: Oxford University Press, 2013, h. 121.
[3] Edwin M. B. Tambunan, “Mengindonesiakan Studi Hubungan Internasional melalui Rekonstruksi Kurikulum”, Verity, vol 1 (2), Karawaci: Universitas Pelita Harapan, h. 83-84
[4] Hans Morgenthau, Politics Among Nations, New York: McGraw-Hill, 2006, h. 4-16
[5] Shambaugh, h. 31-34
Leave a Reply