Menyambut ulang tahun Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang ke-70 pada tanggal 24 Oktober 2015 ini, berikut ini saya kisahkan sedikit sejarah lahirnya organisasi internasional antarpemerintah terbesar yang pernah ada dalam sejarah umat manusia. Tulisan ini adalah sebagian kecil dari berbagai tulisan mengenai dunia hubungan internasional yang saya tulis.
PBB bukanlah organisasi internasional antarpemerintah pertama yang terbentuk dalam sejarah. Tentu tidak mungkin mengabaikan LBB sebagai ‘pendahulu’ (precursor). LBB sendiri berdiri seusai berakhirnya Perang Dunia I (1914-1918) melalui Konferensi Perdamaian Paris. Pendirian LBB sangat sesuai dengan visi Woodrow Wilson (1856-1924), presiden Amerika Serikat yang mengemukakan gagasan dibentuknya sebuah organisasi internasional yang bertujuan untuk mencegah konflik dan menciptakan perdamaian. Pada periode sebelumnya, terdapat berbagai organisasi-organisasi internasional, meskipun dengan wilayah kerja yang jauh lebih spesifik dibanding PBB di kemudian harinya. Salah satu di antaranya adalah Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross, ICRC) yang berdiri pada tahun 1853 dan bergerak di bidang konflik dan kemanusiaan.

The first meeting of the League of Nations Assembly, 1920.
Jika berfokus pada LBB, tugas dan fungsi mereka ternyata tidak dapat terpenuhi dengan baik. Meskipun sebelumnya terdapat berbagai permasalahan yang dapat diselesaikan oleh LBB, seperti sengketa wilayah, dan juga berhasil menetapkan standar untuk berbagai isu internasional, seperti penerbangan sipil serta pos dan telekomunikasi, kerja LBB yang utama menjadi sangat terhambat karena berbagai hal. Sebagai permulaan, LBB sangat kekurangan negara-negara anggota yang berasal dari wilayah-wilayah terjajah (colonies), apalagi mengingat bahwa kolonialisme masih terbilang banyak jumlahnya pada paruh pertama abad keduapuluh. Hal ini menciptakan ketidakseimbangan keanggotaan antara negara-negara penjajah dan wilayah-wilayah yang terjajah. Anehnya, dalam ketidakseimbangan tersebut, negara-negara yang terbilang kuat pada masanya justru lebih memilih untuk tidak ikut serta dalam LBB. Salah satu negara kuat yang memilih tidak ikut serta dan justru menciptakan kehilangan besar bagi LBB adalah Amerika Serikat—negara yang sebetulnya melahirkan gagasan bagi berdirinya LBB justru tidak ikut serta menjadi negara anggota setelah Kongres Amerika Serikat menyatakan tidak akan meratifikasi Perjanjian Versailles (yang menjadi dasar berdirinya LBB), dan dengan demikian tidak bergabung dalam organisasi ini.
Selain itu, LBB juga tidak dapat merespon secara efektif berbagai persoalan internasional yang terjadi pada masa itu. Misalnya saja, Insiden Mukden yang terjadi di Manchuria (Tiongkok bagian utara) pada tahun 1931. Pada masa itu, Jepang menyewa sebuah jalur kereta di bagian Tiongkok utara untuk melakukan mobilisasi antara wilayah Manchuria dengan Jepang. Di bulan September tahun 1931, sebagian dari jalur kereta tersebut diledakkan oleh Tentara Kwantung (yang merupakan tentara-tentara Jepang) dalam sebuah operasi ‘tanda palsu’ (false flag), dan kemudian memersalahkan tentara-tentara Tiongkok dengan tuduhan telah melakukan ‘sabotase’ terhadap jalur kereta ini. Peristiwa ini kemudian digunakan sebagai dalih (pretext) untuk menyerbu wilayah Manchuria dan mendirikan sebuah ‘negara boneka’ (puppet state) yang bernama Manchukuo, dan dipimpin oleh, dalam salah satu ironi terbesar dalam sejarah Tiongkok, oleh kaisar terakhir dari Dinasti Qing (1644-1912) dari Kekaisaran Tiongkok, yaitu Henry Puyi (1906-1967). Upaya Tiongkok untuk berusaha mengusir Jepang dari LBB tidak berhasil, dan permintaan Tiongkok agar LBB melakukan ‘intervensi’ untuk membantunya justru datang sangat terlambat. Laporan resmi LBB kemudian menyatakan bahwa Jepang melakukan agresi ke Manchuria, dan meminta Jepang untuk berhenti serta menarik mundur pasukannya. Walau demikian, bukannya menghentikan tindakannya, Jepang—yang pada saat itu termasuk salah satu negara kuat dalam LBB—menyatakan mundur dari organisasi tersebut, dan mencabut keanggotaannya.
Tak hanya insiden ini, terdapat pula berbagai konflik lain yang tidak dapat ditangani oleh LBB. Misalnya, LBB tidak bertindak apa-apa ketika Italia melakukan invasi terhadap Abisinia (kini Ethiopia) pada tahun 1935-1936. Walaupun LBB mengutuk keras aksi Italia dan memberikan sanksi, sanksi tersebut tidak dipatuhi oleh kebanyakan negara, sehingga upaya okupasi Italia terhadap wilayah Abisinia menjadi tidak terbendung lagi. LBB juga gagal mencegah terjadinya konflik antara Bolivia dan Paraguay yang memerebutkan wilayah Gran Chaco pada tahun 1932-1935. Bahkan meskipun Paraguay telah memohon LBB untuk memberikan bantuan, LBB tidak menggubrisnya sama sekali.
Kejadian yang layak disebut sebagai kegagalan terbesar LBB adalah ketidakmampuannya untuk mencegah terjadinya Perang Dunia II, ketika Jerman melakukan invasi terhadap Polandia pada 1 September 1939. Pada tahap tersebut, tidak ada lagi pihak yang optimis bahwa LBB dapat dipertahankan, dan bahwa karyanya layak dilanjutkan untuk memerjuangkan perdamaian dunia. Sebaliknya, dunia justru jatuh ke dalam konflik internasional yang menyebar ke seluruh bagian dunia.
Sepanjang berlangsungnya Perang Dunia II, berbagai upaya dilakukan untuk membentuk sebuah organisasi internasional baru yang diharapkan dapat lebih mengupayakan perdamaian dunia, dan menggantikan LBB yang sudah gagal menjalankan tugasnya. Upaya pertama yang dilakukan adalah melalui Deklarasi Istana St. James (Declaration of St. James’ Palace), yang dihasilkan pada bulan Juni 1941. Wakil-wakil dari beberapa negara Sekutu berkumpul di Istana St. James di London, yaitu Kerajaan Persatuan, Kanada, Austria, Selandia Baru, Uni Afrika Selatan, serta pemerintah-pemerintah terasingkan (exiled) dari Belgia, Cekoslovakia, Yunani, Luksemburg, Belanda, Norwegia, Polandia, Yugoslavia, serta Jenderal Charles de Gaulle (1890-1970) dari Perancis. Dalam deklarasi tersebut terkandung aspirasi bersama negara-negara tersebut, “Satu-satunya dasar sejati bagi perdamaian abadi adalah kehendak masyarakat dunia yang merdeka untuk berkerja sama di dunia yang, telah dibebaskan dari kejamnya agresi, di mana semua dapat menikmati jaminan ekonomi dan sosial.”
Deklarasi Istana St. James kemudian dilanjutkan oleh dua negara, yaitu Amerika Serikat dan Kerajaan Persatuan, pada bulan Agustus 1941. Amerika Serikat pada saat itu belum terjun ke dalam Perang Dunia II (negara ini baru secara resmi terlibat dalam perang pada empat bulan kemudian). Dua orang wakil-wakil dari negara-negara tersebut, yaitu Presiden Franklin Delano Roosevelt (1882-1945) dari Amerika Serikat dan Winston Churchill (1874-1965), perdana menteri Kerajaan Persatuan, bertemu di atas kapal perang Amerika Serikat USS Augusta di atas Samudera Atlantik. Pertemuan ini kemudian melahirkan Piagam Atlantik (Atlantic Charter) yang meletakkan prinsip-prinsip hukum internasional, perlindungan atas teritori, dan hak untuk menentukan nasibnya sendiri (self-determination). Dokumen ini ditindaklanjuti pada 1 Januari 1942, ketika Presiden Roosevelt, Perdana Menteri Churchill, Duta Besar Uni Republik Sosialis Soviet untuk Amerika Serikat Maxim Litvinov (1876-1951) dan Menteri Luar Negeri Tiongkok T. V. Soong (1891-1971) menandatangani dokumen tindaklanjut yang dikenal dengan nama Deklarasi oleh Bangsa-bangsa Bersatu (Declaration by United Nations). Dokumen ini kemudian turut pula ditandatangani oleh berbagai negara.
Pada bulan Oktober 1943, wakil-wakil dari negara-negara tersebut menandatangani pula Deklarasi Moskow (Moscow Declaration), seiring bergesernya perimbangan kekuatan di masa perang kepada kaum Sekutu. Dalam pasal empat dari deklarasi tersebut disepakati bahwa ketika perang usai akan didirikan sebuah organisasi internasional yang didasarkan pada kesetaraan di antara negara-negara. Deklarasi ini dilanjutkan pula dengan Deklarasi Teheran (Teheran Declaration) dua bulan kemudian.

Di akhir tahun 1944, kembali wakil-wakil dari negara-negara Amerika Serikat, Kerajaan Persatuan, Tiongkok, dan Uni Soviet, berkumpul di sebuah rumah peristirahatan pribadi Dumbarton Oaks di Washington, D. C. Dalam pertemuan inilah, negara-negara tersebut meletakkan dasar-dasar organisasional bagi PBB pada saat pendiriannya kemudian. Di antaranya, keempat negara ini setuju bahwa organisasi ini akan memiliki lembaga-lembaga seperti Majelis Umum, Dewan Keamanan, Sekretariat, dan lembaga-lembaga lainnya. Walau demikian, pertemuan ini tidak turut menyepakati mengenai hak suara dan pemungutan suara dari Dewan Keamanan, walaupun wewenangnya berkaitan dengan penggunaan angkatan senjata telah disepakati. Kesepakatan mengenai hak suara Dewan Keamanan baru disetujui pada Konferensi Yalta, yang diselenggarakan pada awal tahun 1945. Konferensi ini pula yang menyepakati akan diadakannya sebuah pertemuan besar pada bulan Juni 1945 untuk mendirikan organisasi internasional sebagaimana telah disepakati melalui deklarasi dan piagam sebelumnya.
Konferensi utama yang akan diadakan di San Francisco tersebut hampir gagal diselenggarakan, karena wafatnya Presiden Roosevelt pada 12 April 1945. Walau demikian, adalah komitmen dari Presiden Harry S Truman (1884-1972) yang berkomitmen bahwa Konferensi San Francisco akan tetap diadakan sesuai dengan jadwal. Konferensi yang secara resmi disebut Konferensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Organisasi Internasional (United Nations Conference on Internasional Organization) ini akhirnya betul-betul diadakan pada 25-26 Juni 1945, dengan mengundang lima puluh negara untuk hadir, di mana terdapat sekitar 850 anggota delegasi, serta lebih dari 2.500 anggota staf konferensi. Lebih lanjut usai membahas isu-isu struktur organisasi dan wewenang PBB, konferensi ini turut pula membahas pendirian mahkamah permanen yang kemudian dikenal sebagai Mahkamah Internasional (International Court of Justice, ICJ). Seluruh dokumen yang disusun kemudian diselesaikan pada 25 Juni 1945 di Gedung Opera San Francisco, dan dibuka untuk ditandatangani pada 26 Juni 1945. Negara-negara yang hadir menandatangani dua dokumen, yaitu Piagam PBB dan juga Statuta Mahkamah Internasional.

Signing of the UN Charter by the United States, 26 June 1945
Penandatanganan tersebut tidak membuat PBB berdiri pada saat itu juga. Baru pada tanggal 24 Oktober 1945, ketika lima negara utama—Amerika Serikat, Perancis, Republik Tiongkok, Uni Soviet, dan Kerajaan Persatuan—serta sebagian besar dari 46 negara lain telah meratifikasi dokumen tersebut, PBB resmi berdiri, dan kemudian Piagam San Francisco tersebut baru resmi disebut sebagai Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa. Pertemuan pertama PBB, di mana Majelis Umum dan Dewan Keamanan menggelar rapat, diadakan pada tahun 1946 di Balai Pertemuan Metodis Westminster di London. Pada pertemuan tersebut, Sir Gladwynn Jebb, seorang diplomat asal Wales, diangkat menjadi sekretaris eksekutif (executive secretary) dari PBB, sebelum adanya jabatan sekretaris-jenderal di kemudian hari. Sementara itu disepakati bahwa Markas Besar PBB akan berada di sebuah Teritori Internasional di kota New York, Amerika Serikat. Pembangunan dilakukan sampai tahun 1952, di antara tanah yang dibeli dan disumbangkan oleh seorang hartawan Amerika Serikat, John D. Rockefeller, Jr., dan sambil menunggu, PBB ditempatkan di sebuah gedung pertemuan di Lake Success di negara bagian New York, Amerika Serikat. Ketika bangunan tersebut selesai, PBB dan seluruh kelengkapannya direlokasi ke bangunan baru tersebut. Sementara itu, Trygve Lie, menteri luar negeri Norwegia, disepakati menjadi sekretaris-jenderal pertama PBB.
Leave a Reply