Dua tahun yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta di Indonesia meluncurkan sebuah program komedi baru yang tayang di sekitar jam puncak (peak hour) tayangan televisi. Dari nama inisialnya saja, kita sudah dapat menebak bahwa acara ini pada dasarnya adalah ‘plesetan’ dari sebuah acara populer lainnya. Apalagi jika Anda sudah melihat langsung bentuk acaranya, kesan itu mungkin tidak terbantahkan.
Walau demikian, acara yang memiliki slogan “mengatasi masalah tanpa solusi” ini adalah acara yang lebih dari sekedar tayangan hiburan lawak semata. Indonesia perlu Indonesia Lawak Klub (ILK), dan inilah mengapa.
ILK adalah bentuk komedi yang unik, praktis tidak ada duanya di Indonesia. Ketika kita sedang disibukkan dengan komedi-komedi slapstick yang memanfaatkan penderitaan si aktor, atau bergantung pada lawakan-lawakan self-deprecating yang memanfaatkan kejelekan rupa sendiri sebagai bahan tertawaan, ILK justru ‘menyuruh’ para pelawaknya duduk berkelas di balik meja-meja bundar, sambil memegang mikrofon dan cawan bening berisi minuman manis. Tidak ada pukul-pukulan. Memang saling menjelekkan ada satu atau dua kali, namun hal tersebut tidak pernah menjadi pusat ceritanya.
Justru bertentangan dengan banyak bentuk lawakan di Indonesia, ILK mengambil titik ekstrim yang jauh, dan dengan sengaja membahas isu-isu nasional yang sedang ngetren atau sedang aktual. Telaah terhadap masalahnya tersebut dilakukan dengan menjadikan para pelawak ‘panelis’, yang seolah ahli di bidang yang sedang dibicarakan, dan mewakili organisasi-organisasi fiktif nan aneh yang dapat diakronimkan dengan nama-nama luar biasa unik.
Bahkan para ‘panelis’ ini bisa terbagi dua, layaknya sebuah ruang debat yang bisa terdiri dari mereka yang pro dan kontra. Dimoderasi oleh satu orang pembawa acara yang memang tidak pernah berniat mencari solusi, tawa penonton timbul dari telaah para ‘panelis’ yang tidak karuan arahnya, sering tidak ada logikanya (ada yang tahu kata “Mikir!”?), bahkan konyol secara mendasar. Tidak berhenti sampai di situ, interaksi antara para ‘panelis’, mulai dari yang membalas, merisak, menindas, hingga menertawai sinis, menjadi bahan senyum bagi kita para pemirsa di rumah.
Namun saya teringat kembali akan ucapan salah seorang anggota tim besar ILK tersebut. ILK unik karena mengumpulkan komedian dari berbagai generasi, usia, latar belakang, dan genre komedi. Mereka tidak selalu bisa dipersatukan, dengan ‘kelainan’ yang melekat pada masing-masing individu dan gaya berkomedi tersebut. Entah bagaimana caranya, rupanya ILK dapat menyatukan mereka dalam satu atap. Alumni lenong, alumni audisi lawak, hingga para stand-up comedian bisa ambil bagian, dengan lawakan-lawakan yang saling ‘memantul’ seperti permainan pingpong sengit antara dua pemain ahli.
(Bahkan, kalau dipikir-pikir, para stand-up comedian dipaksa menjadi sit-down comedian, bukan?)
Selain itu, ILK mengingatkan kita bahwa para ‘panelis’ sebetulnya merupakan orang-orang yang kita temui sehari-hari di sekitar kita. Ada yang suka ‘mengambil kesempatan’ untuk berdagang (“Hari Senin harga naik!”), ada yang suka bergantung pada hasil survey (“Saya telah mensurvey 100 orang…”), ada yang juga sok pintar dan suka berbicara bahasa ‘asing’ yang ngawur (“Saya baru pulang dari Perancis…”). Juga ada yang mengaku sebagai mantan supir bus, juga dia yang ditunjuk sebagai si kakek tua garing, raja plesetan, dan masih banyak lainnya. Keragaman yang indah, bukan? Lebih dari keragaman, tidakkah kita sadar bahwa kita sering menemui orang-orang ‘unik’ di atas ini ketika kita berinteraksi dengan orang-orang di sekitar kita sehari-hari? Inilah epitomi bangsa kita yang sesungguhnya, tentu saja.
Kesannya mungkin pembahasan akan masalah tersebut tidak ada juntrungannya, cuma saling menertawakan jawaban satu sama lain, dikerjai oleh ‘panelis’ lain sehingga tidak heran kalau masalahnya ‘tidak bersolusi’. Tunggu, jangan salah. Inilah mengapa ILK sebetulnya ada sisi ‘intelek’nya (biarpun sedikit, mungkin). Mengapa begitu? ILK adalah jenis lawakan yang ‘memaksa’ kita untuk berpikir. Sebetulnya tidak ada perdebatan mereka yang betul-betul nyeleneh. Tampaknya produser dan tim kreatif acara ini cukup cerdas dalam mengarahkan debatnya: Sangat terarah, namun dikemas seolah-olah debat yang terjadi berlangsung secara ‘sembarangan’.
Tidak melupakan pula pesan moral yang disampaikan di akhir acara, oleh seorang notulen, anak fakultas kriminologi yang menghasilkan susu dan madu dari setiap kata-kata yang dirangkainya. Bukannya membuat jomplang antara bercandaan dan simpulan acara pada bagian akhir, justru simpulan ini menjadi alat pengeras suara bagi jalannya perdebatan. Lawak boleh menjadi bahan tertawaan kita, namun ketika pesan moral ini disampaikan, bukan salahnya jika air mata menetes atau benak kita menjadi berpikir keras: Sudahkah kita menjadi manusia seutuhnya, sesuai dengan pesan notulen itu. Indah pula bahwa pesannya selalu universal, bagi kita untuk menjadi insan yang lebih baik, yang lebih berbudi sebagai seorang makhluk di atas dunia ini.
Saya sudah melihat ILK selama dua tahun ini, melihatnya tayang seminggu sekali, tiga minggu sekali, lima kali seminggu, enam kali seminggu, lima kali seminggu, hingga kini hanya dua kali seminggu. Dari hanya satu jam, dua jam, kini tinggal satu setengah jam. Acara ini telah bertumbuh dan berkembang selama dua tahun terakhir. Untungnya, ILK tetap menjadi acara yang sangat jujur: “Mengatasi masalah tanpa solusi.” Ia sudah memeringatkan kita, para penonton, sejak awal acara, bahwa usai menonton acara ini, Anda tidak akan mendapatkan solusi apa-apa. Janji itu tetap ditepatinya selama dua tahun ini.
Pada akhirnya, selamat hari jadi untuk Indonesia Lawak Klub. Terima kasih telah mewarnai layar kaca selama dua tahun terakhir, dan terima kasih telah menjadi berkat kecil bagi bangsa Indonesia. Di tengah suasana negara yang masih tidak karuan ini, dan acara-acara di televisi yang makin nggak asyik, ILK masih diperlukan Indonesia untuk menjadi hiburan bagi kita yang kalut dan berat pikiran, dengan hiburan yang tidak sama dengan lawakan-lawakan lainnya.
Untuk para produser dan tim kreatif, terima kasih. Untuk Denny Chandra, Cici Panda, Komeng, Cak Lontong, Jarwo Kuat, Fitri Tropica, Rico Ceper, Kartika Putri, Ronal Surapradja, Akbar, Boris Bokir, para komedian lainnya, serta tentu saja, Maman Suherman, terima kasih.
Sekali lagi, “Mengatasi masalah tanpa solusi (?) Mikir!”
Leave a Reply