Pada tanggal 26 Juni 1974, sebuah bank kecil di tengah-tengah Jerman Barat mengguncang seluruh dunia perbankan. Bank bernama Herstatt Bank ini bukanlah di antara bank-bank besar di Jerman Barat—disebut-sebut ia berperingkat 35 terbesar pada tahun tersebut. Namanya tentu tidak setenar bank Jerman lainnya seperti Deutsche Bank AG. Walau demikian, bank yang seolah tidak ada artinya ini akan mengakibatkan sesuatu yang luar biasa serius. Saat hari kerja tengah berlangsung di seluruh Jerman Barat, otoritas keuangan Jerman Barat, yaitu Kantor Pengawasan Perbankan Federal mencabut paksa izin usaha jasa perbankan (banking license) Herstatt Bank, memaksanya untuk tutup serta melikuidasi aset-asetnya untuk memenuhi kewajibannya. Hal ini disebabkan karena salah satu rasio kewajiban Herstatt Bank (financial leverage) telah melampaui jauh persyaratan yang diminta oleh Herstatt Bank. Maka, pada hari itu, Herstatt Bank dinyatakan berhenti beroperasi secara penuh.

Walau demikian, masalah terbesarnya bukan sekedar pada pencabutan lisensi ini saja. Rupanya, di hari sebelumnya, berbagai bank mengirimkan kepada Herstatt Bank pembayaran bermata uang Deutsche Mark (DEM), untuk kemudian Herstatt Bank memberikan pembayaran kembali (pertukaran) dalam dolar Amerika Serikat (USD). Pembayaran tersebut akan dilakukan melalui mitranya, Chase, di Amerika Serikat. Karena adanya perbedaan waktu di antara kedua negara ini selama 6-7 jam, maka ada perbedaan waktu jam usaha (banking hour) antara bank di Jerman dengan bank di Amerika Serikat—saat bank di Amerika Serikat buka, bank di Jerman masih tutup, dan sebaliknya. Maka, transaksi tersebut akan diselesaikan (settle) di keesokan harinya.
Saat kemudian Herstatt Bank ditutup paksa oleh regulator, maka Chase di Amerika Serikat kebingungan—karena kini, tanggung jawab yang dimiliki Herstatt untuk membayar dalam dolar AS tidak ada lagi, karena ia sudah tidak diizinkan untuk berbisnis. Maka kemudian Chase menolak untuk melakukan pembayaran kepada para krediturnya hari tersebut. Gagal bayar ini menciptakan panik pada pihak bank-bank yang seharusnya menerima pembayaran dalam dolar AS, dan sebagai akibatnya, bank-bank tersebut merugi ratusan juta dolar AS.
Perbedaan waktu antara penyelesaian transaksi (settlement) di antara kedua negara dan kedua zona waktu yang berbeda inilah yang menjadi lubang menganga yang kemudian dilewati oleh pencabutan lisensi bank ini. Perdebatan hebat kemudian terjadi mengenai upaya penyelesaian masalah gagal bayar (default) yang tidak hanya menyeret Herstatt Bank, namun juga Chase sebagai bank mitra Herstatt Bank di Amerika Serikat.
Masalah tidak adanya yurisdiksi tunggal serta metode standar untuk mencegah serta menyelesaikan risiko seperti yang terjadi pada Herstatt Bank—risiko penyelesaian transaksi atau settlement risk—kemudian menjadi perhatian dari sebelas negara ekonomi mapan dunia. Kelompok Negara G-10 atau Group of Ten, beranggotakan bank sentral negara-negara anggota awal Dana Moneter Internasional (IMF): Belgia, Belanda, Kanada, Perancis, Jepang, Italia, Kerajaan Bersatu, Amerika Serikat, kemudian ditambah Swedia, Jerman Barat, dan kemudian Swiss, mendirikan bersama-sama Komite Praktik-praktik Regulasi dan Pengawasan Perbankan (Committee on Banking Regulations and Supervisory Practices), yang berpusat di Basel, Swiss. Komite ini semula ditujukan untuk memperkuat pengetahuan industri perbankan mengenai sistem pengawasan perbankan, serta untuk mengupayakan penyelarasan standar mengenai bagaimana industri perbankan harus diatur.
Komite ini kemudian berubah nama menjadi Komite Basel untuk Pengawasan Perbankan (Basel Committee on Banking Supervision), atau yang kini dikenal dengan nama BCBS. BCBS kemudian menerima anggota-anggota baru, yaitu bank-bank sentral dari negara-negara lain di dunia, melakukan pertemuan secara rutin tiga atau empat kali setiap tahunnya, serta menyusun serta menyesuaikan standar regulasi dan pengawasan perbankan minimum yang diharapkan dapat diikuti secara internasional—tidak hanya negara-negara anggotanya saja.

Masalah serius kemudian dihadapi oleh BCBS, yang berada di bawah otoritas Bank untuk Penyelesaian Transaksi Internasional (Bank for International Settlements, BIS), ketika pada awal tahun 1980an terjadi krisis utang besar di Amerika Latin. Pada dekade sebelumnya, berbagai negara di Amerika Latin melalukan pinjaman jumlah besar kepada sejumlah kreditur internasional (termasuk bank) untuk mendanai berbagai proyek infrastruktur, yang dijaminkan atas dasar minyak bumi yang pada saat itu mengalami booming. Terdapat kepercayaan diri yang cukup tinggi bahwa dengan hasil minyak bumi yang melimpah ini mereka akan tetap dapat memperoleh pinjaman dan akan mampu pula membayarnya.
Meski begitu, pada awal tahun 1980an inilah terjadi beberapa fenomena di Amerika Latin. Sebagai permulaan, terjadi kontraksi perdagangan internasional dari dan ke negara-negara Amerika Latin. Karena negara-negara ini masih mengandalkan ekspor sumber daya alam (barang sumber daya primer), termasuk minyak, maka daya jual minyak turut terkoreksi. Selain itu, terjadi peningkatan suku bunga finansial di Amerika Serikat. Utang-utang yang mayoritas dikucurkan dalam bentuk dolar AS mengakibatkan meningkatnya nilai bunga yang harus dibayar atas pinjaman tersebut, dan semakin memberatkan negara-negara ini.
Satu persatu negara kemudian mendapati dirinya memiliki rasio utang yang luar biasa besar. Utang di seluruh kawasan setidaknya telah mencapai nilai 50% dari pendapatan domestik bruto seluruh kawasan tersebut selama setahun. Sedikitnya 20% dari utang tersebut diberikan oleh bank-bank komersial pada umumnya. Lebih bermasalahnya lagi adalah karena utang-utang tersebut kebanyakan merupakan utang jangka pendek, dan permohonan negara-negara ini untuk melakukan pembiayaan kembali (refinancing) kemudian ditolak. Maka terjadi default besar-besaran yang mengakibatkan negara-negara ini mengalami kesulitan ekonomi hingga bertahun-tahun lamanya. Sementara bank-bank tersebut dengan sangat terpaksa memberikan refinancing untuk mencegah gagal bayar total, walaupun dengan syarat sangat ketat. Selain itu, negara-negara juga meminta bantuan dari IMF untuk mencegah mereka jatuh ke dalam kebangkrutan.
BCBS kemudian menyadari adanya tren mengerikan: Bank-bank internasional pada saat itu mulai tidak mengindahkan rasio kecukupan modal yang seharusnya dimilikinya untuk mengantisipasi kalau-kalau terjadi gagal bayar dari debiturnya. Bank-bank memberikan pinjaman dalam jumlah besar tanpa mempedulikan berapa kapital yang dimilikinya sebagai cadangan penahan (buffer) dalam kondisi sulit. Maka, BCBS menyatakan perlunya sebuah standar yang mewajibkan bank untuk memperhatikan secara seksama rasio kecukupan modal yang dimilikinya dalam menjalankan aktivitas perbankan, agar dapat mengelola risiko kredit yang mungkin dialaminya.
Usai diskusi, perdebatan, dan masukan-masukan yang diterima atas berbagai paper yang disusun oleh BCBS, maka pada tahun 1988 BCBS menyepakati Kesepakatan Kapital Basel (Basel Capital Accord), yang kini secara singkat dikenal sebagai Basel I. Basel I merupakan tonggak sejarah penting dalam sejarah industri keuangan dunia. Untuk pertama kalinya, kecukupan modal dalam kegiatan bisnis bank diberi perhatian serius untuk menghindarkan bank-bank jatuh ke dalam risiko kredit sebagaimana yang dialami oleh bank-bank pada masa krisis Amerika Latin.
Basel I memberikan perhatian khusus kepada risiko kredit, yang pada masa itu dianggap sebagai risiko terbesar yang dihadapi oleh bank. Dasar dari kegiatan perbankan adalah menjembatani fungsi intermediasi antara pendanaan jangka pendek (melalui tabungan) dan menyalurkannya melalui pinjaman (jangka waktu lebih panjang). Sebagai sumber keuntungan bagi bank melalui mismatching antara jangka waktu pendek-panjang ini, bank terus memberikan pinjaman kepada publik. Walau begitu, bank sering dianggap lalai untuk memperhitungkan seberapa banyak modal yang harus tetap dimiliki oleh bank untuk dapat terus memberikan pinjaman.
Mengapa demikian? Sumber dana yang diberikan sebagai pinjaman adalah dari dana pihak ketiga, yaitu tabungan serta deposito. Bank juga memiliki kapital, yaitu setoran modal, laba ditahan, serta beberapa jenis kewajiban jangka panjang seperti obligasi subordinasi. Untuk menghasilkan pendapatan bunga, bank tentu saja ingin menyalurkan seluruh dana pihak ketiganya agar dijadikan pinjaman. Biarpun situasi ini terlihat ‘ideal’, ada dua ‘lubang’ yang harus dilihat oleh bank: (1) Bagaimana jika ada nasabah debitur yang gagal mengembalikan utang pinjamannya kepada bank? (2) Bagaimana jika sewaktu-waktu nasabah deposan hendak menarik dananya keluar—jangan lupa bahwa tabungan pada dasarnya tidak memiliki tanggal jatuh tempo, karena sifatnya sangat likuid dan dapat ditarik kapan saja.
Jika dalam suatu situasi hipotetikal ekstrim di mana bank tidak lagi memegang sebagian dari dana pihak ketiga untuk mengantisipasi penarikan oleh nasabah, hal ini dapat menimbulkan panik besar-besaran, karena dianggap bank tidak lagi mampu memenuhi kewajibannya. Panik akan berujung pada terjadinya bank run, di mana sebagian besar atau seluruh nasabah melakukan penarikan dana besar-besaran, dan tanpa adanya dana pihak ketiga, bank harus mengambil modalnya untuk membayar kewajibannya. Jangan lupa, modal yang dimaksud sebetulnya juga merupakan milik dari pemegang saham, serta digunakan pula untuk membayar kewajiban langsung untuk operasional bank.
Memang situasi hipotetikal di atas kecil sekali kemungkinan terjadinya, namun ini memberikan peringatan serius bahwa bank harus betul-betul mempertimbangkan berapa cadangan modal yang dimilikinya, khususnya dalam bisnis pemberian kredit. Namun tidak sampai di situ, Basel I mencoba mengakomodasi tingkat risiko berdasarkan siapa yang menjadi nasabah kredit bank. Dari pemisahan ini kemudian bank dapat memperkirakan seberapa besar risiko yang dimiliki masing-masing jenis nasabah ini, serta mengukur secara sedikit lebih spesifik berapa besar cadangan modal yang harus dimilikinya.
Sanggahan: Tulisan ini adalah buah pemikiran, pembelajaran, pandangan, dan gagasan saya pribadi, dan tidak, dalam kesempatan dan cara apapun, mewakili nilai-nilai, ide, dan gagasan, dari perusahaan di mana saya bekerja.
Leave a Reply