Beberapa waktu lalu, ada berita yang sangat menarik keluar dari Negeri Matahari Terbit—atau kini akan saya sebut Negeri Kereta Cepat—Jepang. Mengapa beritanya menarik?
Ia menarik karena berita ini ‘Jepang banget‘.
Salah satu perusahaan kereta di Jepang mengeluarkan permohonan maaf secara resmi. Bukan karena ada kecelakaan. Bukan karena ada rel yang rusak. Bukan karena ada kereta yang terlambat.
Melainkan, karena ada kereta yang berangkat terlalu cepat. Terlalu. Cepat.
Begini dilaporkan oleh BBC:
Sebuah perusahaan kereta di Jepang telah memohon maaf setelah salah satu keretanya berangkat 20 detik lebih cepat.
Pihak manajemen dari jalur kereta Tsukuba Express dari Tokyo ke kota Tsukuba mengatakan bahwa mereka “sangat menyesal atas ketidaknyamanan” yang terjadi.
Dalam pernyataan resminya, perusahaan menyebutkan bahwa kereta telah dijadwalkan berangkat pada pukul 09:44:40 waktu setempat, namun justru berangkat pada 09:44:20.
Bayangkan. Dua puluh detik lebih cepat.
Berita ini memberikan dua kesan pada saya. Pertama, ini ‘Jepang banget‘. Sebuah bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang teratur, tertib, tepat waktu, dan mengalami hal seperti ini, kemudian meminta maaf secara publik. Apalagi melibatkan kereta, yaitu sebuah moda transportasi yang sangat diandalkan masyarakat Jepang.
Kedua, yang lebih kencang suaranya dalam pikiran saya adalah, mengapa harus meminta maaf? Di banyak negara, bisa tepat waktu saja sudah luar biasa ajaib. Sebut saja Indonesia, ketepatan waktu seringkali hanya menjadi ‘khayal banci‘ dibanding kenyataan. Keterlambatan sepertinya sudah dimaklumi sebagai hal lumrah.
Di Jepang, justru, berangkat lebih awal, dua puluh detik saja, bisa menjadi penyebab sebuah perusahaan meminta maaf!
Namun, usai ngobrol-ngobrol dengan beberapa teman, terutama yang lama tinggal di Jepang, membuat saya menyadari kenapa pemikiran saya kurang tepat—dan sekali lagi menjelaskan kenapa Jepang bisa menjadi bangsa yang maju.
Bagi masyarakat Jepang, reliabilitas kereta sangat penting. Untuk sebuah bangsa yang bisa bekerja sampai kelelahan di malam hari dan harus berangkat sangat awal di pagi hari, berangkat tepat waktu wajib hukumnya. Rupanya, bagi banyak orang Jepang, mereka merencanakan dengan baik waktu berangkat mereka di pagi hari. Mereka mengukur dengan pasti jarak dari rumah ke stasiun, kemudian menghitung jadwal kereta yang berangkat paling dekat, dan melakukan estimasi pukul berapa akan tiba di kantor.
Kereta yang terlambat pada umumnya akan menyebabkan perusahaan kereta tersebut mengeluarkan surat permintaan maaf, bukan hanya karena kereta terlambat, namun juga kepada pihak terkait dari seluruh penumpang untuk memaafkan keterlambatan setiap orang dalam kereta tersebut untuk tiba dalam acara atau pekerjaan karena kereta yang terlambat. Inilah Jepang.
Karena hal inilah, selisih beberapa detik bisa sangat fatal. Kereta-kereta di Jepang memang diketahui berangkat dengan waktu maha akurat, bahkan sampai hitungan detiknya. Bayangkan jika Anda, yang sudah tahu dan memperkirakan kereta akan berangkat detik 40, kemudian sudah berangkat pada detik 20. Karena itu, Anda harus menunggu kereta berikutnya, yang mungkin 3 menit kemudian jaraknya.
Dampak dari keterlambatan ini bisa menimbulkan efek domino, atau efek bola salju (snowballing effect), apalagi buat para pekerja kerah putih yang bertempat tinggal di luar kota, seperti di pinggiran kota, yang kemungkinan perlu berpindah kereta dari satu jalur ke jalur lainnya. Bagi penumpang seperti ini, selisih beberapa detik bisa sangat berbahaya karena mereka bisa saja kehilangan kesempatan berpindah kereta tersebut, dan untuk menantikan perpindahan keretanya bisa sangat memakan waktu. Dari kereta yang 20 detik terlalu cepat berangkat, seseorang bisa mengalami keterlambatan yang ‘menggulung’ khususnya jika ia berpindah kereta beberapa kali.
Setelah menyadari hal ini, saya memikirkan ulang kasus ‘lucu’ ini. Memang, dua puluh menit lebih awal ternyata punya dampak besar untuk sebuah bangsa yang hidupnya sudah seperti gir dalam sebuah sistem mesin, yang berjalan secara clockwork, dengan pergerakan presisi yang jatuhnya bisa sampai hitungan detik.
Tidaklah heran jika Jepang memang terkenal karena disiplinnya. Itu bukan main-main. Usai kasus ini, makin tinggilah salut kepada Jepang.
Kapan di Indonesia bisa seperti ini?
(Foto kepala dari The Independent, hak cipta dimiliki pemegangnya)
Leave a Reply