Dari mana saya harus mulai membahas kekecewaan soal pertandingan final Liga Europa tadi pagi? Setelah menyaksikan pertandingan yang sangat alot antara Villarreal melawan Manchester United, dan hanya tidur selama kira-kira 3 jam, yang ada hanya sedikit kekecewaan dan optimisme untuk musim 2021/2022.
Biarpun sebelum pertandingan United disebut-sebut sebagai ‘unggulan’ menghadapi Villarreal, di lapangan terlihat sekali mengapa pertandingan terasa lebih berimbang. Banyak berita usai pertandingan tersebut menyebutkan United salah strategi, atau tidak mampu mengimbangi lawan, dan sebagainya. Bahkan, sang idola Paul Scholes juga menyebutkan United seharusnya bisa menghantam dengan mudah Villarreal—yang finis di posisi ketujuh La Liga Spanyol.
Tapi lagi-lagi, seperti kata pepatah lama, pertandingan sepak bola ditentukan di atas lapangan, dan bukan di atas kertas. Inilah beberapa hasil observasi saya saat United kalah dari Villarreal dengan adu pinalti 10-11.
Salah Ole?
Usai pertandingan tersebut, seperti biasa, tagar #OleOut kembali jadi tren di jagat maya. Seperti yang saya yakini selama ini, bukan saja #OleOut ini salah besar, sebetulnya Ole harus lebih dipercaya dalam mengelola tim.
Tentu, saya berpikiran ada sedikit kesalahan dari Ole semalam. Bukannya taktiknya tidak bekerja—menurut saya, pertandingan semalam memang ‘cukup’ imbang antara dua gaya permainan yang sangat berbeda, sehingga nyaris tidak ada bentrokan—tapi terlambatnya Ole melakukan pergantian pemain membuat Unai Emery ada di atas angin. Padahal semula, saya menyangka pergantian pemain Unai terlihat agak aneh—menarik pemain menyerang dan menggantinya dengan pemain tengah—tapi perjudian itu berhasil, sehingga Villarreal mengakhiri pertandingan dengan lebih ‘segar.’
Apapun kata #OleOut, tidak bisa dibantah bahwa Ole sudah membuat United jauh lebih menarik dan menggembirakan—ada sedikit nafas masa-masa Ferguson yang hilang sama sekali di bawah David Moyes, Louis van Gaal, atau Jose Mourinho. Tim lebih kompak, permainan lebih menarik, lebih agresif, dan lebih bisa ‘memaksakan hasil.’ Untuk sebuah perjalanan pertandingan yang biasanya sudah tercium aroma kekalahan di bawah David, Louis, atau Jose, bisa menjadi putar balik dan menang di bawah Ole.
Secara hasilpun tidak terlalu mengecewakan. Dua musim penuh (tidak menghitung musim saat ia menggantikan Jose Mourinho di paruh musim), United di bawah Ole menduduki peringkat tiga dan dua di Liga Primer, tembus empat semifinal, dan satu final. Kemajuan besar jika dibandingkan terlemparnya United keluar Eropa di bawah Moyes, atau di bawah peringkat empat di bawah van Gaal atau Mourinho.
Yang jelas, Ole harus lebih dipercaya memasuki musim baru. Berikan pemain yang ia butuhkan, izinkan menyingkirkan pemain-pemain yang sudah ‘mati’ dan tidak senafas dengan filosofinya—dan filosofi United—serta berikan waktu untuk membangun skuad yang ia yakini. Sama seperti Martin Edwards dulu tidak menghiraukan teriakan, “Ta-ra Fergie” antara 1986-1990, Ole perlu waktu untuk membangun.
Memang banyak yang berteriak bahwa kemajuan sebesar apapun harus berbuah trofi. Apalagi, Mikel Arteta—yang musim ini bersama Arsenal menjadi ‘bulan-bulanan’ di media sosial—sudah mengantongi satu Piala FA dan satu Perisai Komunitas FA. Namun melihat tim United sekarang, khususnya bila rencana transfer pemain berjalan sempurna, saya bersemangat sekali untuk memberi Ole waktu.
Ke Mana Para Bintang?
Yang membuat saya agak bingung justru adalah ‘matinya’ beberapa pemain yang saya duga harusnya menjadi kunci permainan United pagi tadi. Marcus Rashford, yang biasanya dapur pacunya sangat bisa diandalkan, kembali membuat beberapa keputusan yang seharusnya bisa diambil dengan lebih baik. Paul Pogba kurang efektif berperan sebagai jangkar (atau kadang disebut metronom) di lapangan tengah—tidak bisa seperti Roy Keane di masa jayanya. Mason Greenwood beberapa kali terlihat off-positioned dengan bermain lebih banyak sebagai inside forward daripada sebagai penyerang kanan.

Apa yang terjadi di antara mereka, entahlah. Saya merasa kalau saja Marcus lebih cepat digantikan Daniel James, atau Paul Pogba oleh Donny van de Beek, atau bahkan Amad Diallo menggantikan Mason Greenwood, mungkin akan beda hasilnya. Memang betul, karena tipisnya skuad United, para pemain pelapisnya belum tentu bisa mengimbangi kebutuhan tim pada saat pertandingan. Lagi-lagi, ini terletak pada ranah ‘kalau saja.’
Seperti kata ‘mbah kakung’ Manchester United, Sir Alex Ferguson, baginya bila harus memaksakan hasil dalam 15 menit terakhir, ia akan berjudi dan melakukan pergantian yang perlu—yang ia juga suka sebut sebagai ‘melempar bak cuci’ (throw the kitchen sink). Ini yang mungkin agak kurang.
Penalty Masterclass
Adu penalti dalam pertandingan ini adalah salah satu adu penalti terbaik yang pernah saya saksikan sendiri. Saya pernah melihat macam-macam adu penalti yang luar biasa mendebarkan—termasuk saat United mengalahkan Chelsea di final Liga Champions 2008, atau saat Rusia mengalahkan Spanyol di 16 besar Piala Dunia 2018. Tapi jarang saya melihat betul-betul 11 lawan 11, di mana 21 dari 22 tendangan tersebut berhasil menjadi gol—dengan hanya seorang kiper yang gagal.
Segala macam penalti bisa dilihat—kecuali model panenka yang menjadi bahan tertawaan saat Sergio Aguero gagal memberi kemenangan melawan Chelsea beberapa waktu lalu. Pojok atas, pojok bawah, keras di tengah, terkena ujung jari kiper, semuanya ada.
Yang terbesit justru setelah menyaksikan adu tendangan pinalti ini adalah betapa tidak adilnya sistem ‘langsung gugur’ (sudden death) setelah penendang kelima. Sial betul seperti kiper David de Gea yang kebetulan menjadi penendang yang gagal setelah 10 lainnya berhasil. Bisa jadi harus memakai sistem bulutangkis atau voli, di mana untuk menang, harus terdapat sekurang-kurangnya marjin dua poin?
De Gea?
Dipikir-pikir, kasihan juga David de Gea. Tentu saja, karena de Gea menjadi penentu kekalahan United—gara-gara tendangan pinaltinya yang tidak tembus—ia menjadi salah satu pihak yang dipersalahkan. Biar begitu, menunjuknya sebagai sebab kekalahan juga tidak adil.
Sepanjang 120 menit, de Gea telah tampil sebagaimana diharapkan, kecuali gol Villarreal sebagai akibat tendangan bebas yang tidak bisa diamankan dengan baik oleh para pemain bertahannya. Kalau kemudian di media sosial ramai yang membicarakan bagaimana de Gea ‘melawan’ saran dari timnya mengenai ke arah mana harus menyelamatkan tendangan pinalti, inipun tudak bisa dibenarkan. Dalam tendangan pinalti, kiper praktis hanya punya tiga pilihan: diam, ke kiri, atau ke kanan (tidak menghitung atas-bawah). Bila ada saran untuk ke kiri saat menghadapi penendang A, sebetulnya kiperpun memiliki hanya 33% kesempatan untuk benar. Bahkan jika sudah mengikuti arahan dan tetap jadi gol, serba salah bukan?
Rekor
Apakah rekor bisa dijadikan penentu? Kalau dalam dunia keuangan, sering disebut bahwa kinerja masa lalu tidak menentukan kinerja masa kini/depan. Biar begitu, aneh juga mendapati sejarah betul-betul melawan United:
- Dalam 10 kali pertandingan final kompetisi tingkat Eropa antara tim asal Spanyol melawan tim asal Inggris, tim asal Spanyol selalu menang, tanpa kecuali (termasuk Liga Champions dan Liga Europa).
- Unai “Good Ebening” Emery adalah ‘mbah kakung’nya Liga Europa, dengan koleksi juaranya yang aneh bin ajaib—lima gelar Liga Europa bersama Sevilla dan Villarreal.
Sudah, Ayo Move On
Memang bukan akhir yang diharapkan pada penjuru musim 2020-2021 ini. Harapan untuk setidaknya membawa pulang satu trofi tidak terwujud. Biar begitu, musim 2020-2021 ini boleh dibilang merupakan salah satu musim yang paling saya nikmati menyaksikan United sejak pensiunnya Sir Alex pada akhir musim 2012-2013.
Waktu membangun skuad yang kokoh memang tidak sedikit. Ingat lagi bagaimana Sir Alex butuh waktu hampir lima tahun untuk memenangkan trofi pertamanya. Memang tidak ada pencapaian apa-apa pada musim-musim tersebut, tapi fondasi yang ia tetapkan untuk sebuah skuad United yang bisa bertahan sampai 20 musim selanjutnya, bukan sesuatu yang mudah dicapai!
Berikan Ole waktu dan sumber daya, itu yang pasti. Ole sebetulnya sedang menunaikan tugas yang lebih sulit dibandingkan sekedar memenangkan sesuatu, yaitu mengembalikan filosofi United sampai ke akar-akarnya, dan ‘menyegarkan’ tim dengan memasukkan pemain-pemain yang Ole tahu bisa memenuhi kebutuhan skuadnya serta ‘mengeluarkan’ pemain-pemain yang sudah tidak memenuhi kriteria.
Saya justru bersemangat menyambut musim 2021-2022, tapi dengan syarat, Ole harus terus didukung, apalagi oleh petinggi klub. Kalau DNA United bisa dihidupkan kembali dan cara manajemen Sir Alex bisa kembali hidup di dalam tim, saya meyakini ada banyak hal besar yang bisa dicapai oleh Ole bersama skuad United.
Semoga saja.
Leave a Reply