Sebuah pertandingan sepak bola bisa menghasilkan dua jenis pemenang: pemenang karena memang mencetak gol lebih banyak dari lawannya, atau pemenang karena tim tersebut memenangkan hati jutaan pasang mata yang menyaksikannya, entah memasukkan lebih banyak gol ataupun tidak.
Tim nasional sepak bola putra Denmark baru saja menjadi contoh yang kedua.
Okelah, Denmark kalah dari Inggris di semifinal Piala Euro 2020 semalam—setelah pertandingan yang amat seru dan terbilang lumayan sengit, Denmark hanya kalah karena ‘pinalti-pinaltian’ yang didapatkan Inggris di waktu tambahan. Tentu saja, dari sebelum pertandingan dimulai, sudah lebih banyak yang menjagokan Inggris untuk lolos ke final dan bertemu Italia. Mungkin kalau dilihat seperti itu, hasil pertandingan semalam memang pantas, biarpun ada tanda tanya di soal cara memenangkannya.
Inggris menjadi pemenang jenis pertama yang saya sebutkan tadi, yaitu pemenang karena mencetak gol leibh banyak dari lawannya. Dua gol lawan satu, sudah cukup untuk membawa Inggris lolos ke final pertama dalam turnamen besar sejak tahun 1966.
Tapi Denmark, sebuah tim dari negara yang jauh lebih kecil (tapi lebih kaya!) dari Inggris, yang sebetulnya tidak punya tradisi sepak bola yang terlalu kuat, terkecuali dari kemenangan sensasional mereka di Piala Euro 1992, justru menjadi kecintaan jutaan orang di seluruh dunia. Mudah sekali melihat alasannya.
Saya menyaksikan sendiri pertandingan pertama Denmark di fase grup melawan debutan Finlandia, ketika tiba-tiba bintang tim mereka, Christian Eriksen, jatuh begitu saja di lapangan sepak bola, tanpa alasan yang jelas. Saya ikut penasaran apa yang terjadi, sampai pemain-pemain Denmark membuat lingkaran untuk menutupi apa yang sedang terjadi. Baru ketika sekilas kamera menangkap tim paramedis melakukan resusitasi jantung paru (cardio-pulmonary resuscitation) baru saya menyadari, “Astaga, mungkin serangan jantung.”
Melihat itu, seperti kilas balik cepat di mata saya—saya teringat apa yang terjadi pada Fabrice Muamba, pemain sepakbola Bolton Wanderers yang tiba-tiba kolaps karena serangan jantung di White Hart Lane, dan sempat henti jantung lebih dari satu jam sehingga banyak yang mengira ia sudah tewas. Atau kisah Marc-Vivien Foé yang mengalami gangguan jantung di Piala Konfederasi 2003 dan meninggal di stadium. Not again!
Tapi lingkaran pemain yang dibuat tim Denmark untuk menutupi Eriksen, dan bagaimana kapten tim Simon Kjær memberikan pertolongan pertama dan menenangkan keluarga Eriksen menjadi awal dari simpati serta dukungan para pecinta sepak bola. Biarpun Denmark hari itu kalah dari Finlandia 0-1, dukungan untuk mereka menjadi semakin besar.

Pertandingan demi pertandingan, Denmark bangkit dan melawan dengan gagah berani, seolah setiap pertandingan menjadi pertandingan terakhir mereka di kompetisi. Praktis semua memberi dukungan kepada Denmark, bahkan ketika mereka kalah 1-2 dari tim nomor satu dunia, Belgia. Bisa lolos dari fase grup dengan mujizat setelah menghancurkan Rusia, mereka menggila dan terus memenangkan pertandingan demi pertandingan sampai mencapai semifinal.
Semua dilakukan dengan semangat dinamit yang memang legendaris sejak tahun 1992. Secara taktis, mereka main rapi, apik, dan menarik. Timnya tidak punya pemain yang sangat menonjol seperti tim-tim lainnya, tapi dengan kesatuan tim yang kokoh, mereka bertahan dan menyerang dengan sama beraninya—sesuatu yang sangat unik namun merupakan ciri khas tim yang tidak terlalu berbintang. Hal ini juga terlihat saat melawan Inggris semalam, di mana pertandingan bisa saja dimenangkan oleh siapapun, karena Denmark yang nyata-nyata bukan jagoan, masih bisa melawan seperti tidak ada hari esok.
Ini mengingatkan saya pada kasus tim nasional Brasil di Piala Dunia 2014, di tanah mereka sendiri. Saat Brasil menjadi tuan rumah dan favorit juara, mereka kehilangan dua orang pemain bintang, Neymar karena cedera, dan Thiago Silva karena akumulasi kartu. Neymar mengalami cedera di fase perempat final, dan apa yang terjadi setelahnya pada tim nasional Brasil sangat mencengangkan—mereka hancur, haru biru, seolah tidak ada lagi masa depan. Tim membawa seragam Neymar pada saat menyanyikan lagu kebangsaan Brasil menghadapi Jerman di semifinal, dengan tangis dan haru biru karena teman yang tidak hadir. Ketidakhadiran Thiago Silva juga ditanggapi dramatis oleh tim. Brandon Evans menulis untuk The Triangle:
“[Neymar] adalah bintang bagi Brasil dan bintang untuk keseluruhan Piala Dunia ini. Penampilannya yang mengagumkan sepanjang turnamen berarti kesempatan bagi Brasil untuk memenangkan Piala Dunia ada di atas pundaknya.”
Hasilnya? Brasil hancur, luluh lantak, kalah 1-7 dari Jerman. Si favorit jadi berantakan.
Perbedaan pada mentalitas ini sangat unik untuk diperbandingkan. Denmark mengakui emosi yang tidak karuan karena apa yang terjadi pada Eriksen, tapi mereka cepat berdamai dengan masalah itu dan menegakkan kepala mereka. Tidak ada tangisan atau haru biru saat menyanyikan lagu kebangsaan di pertandingan-pertandingan berikutnya. Mereka tidak memutuskan untuk hancur karena pemain yang terbilang bintang di tim ini sudah tidak lagi ada. Mereka menarik lengan baju dan berlari kencang, lagi-lagi seperti dinamit yang mau meledak.
Untuk itu saja—tidak menyerah pada keadaan, tidak ngambek saat Eriksen jatuh di lapangan, dan justru melawan balik keadaan dan menjadi trengginas melawan siapapun yang dihadapinya—Denmark patut mendapat pujian. Kalau ada satu tim yang mungkin tidak pantas tersingkir dari Piala Euro, itulah Denmark. Semua tim-tim bintang seperti Perancis, Jerman, Portugal, dan Belgia sudah hancur berantakan. Denmark untuk bisa bertahan sampai di semifinal, itu sudah melawan segala norma, segala sifat alami sepak bola, sehingga apapun hasilnya, mereka adalah pemenang. Pemenang karena telah memenangkan jutaan hati pecinta sepak bola.
Untuk semuanya, terima kasih Denmark. Tak, Danmark!
Leave a Reply