Ada beberapa hal yang sudah terlanjur terduga, dan ini salah satunya: Ole Gunnar Solskjaer bukan lagi manajer Manchester United.
Selain itu, ada juga satu yang pasti: terima kasih, Ole.
Setelah ‘pembantaian’ oleh Watford kemarin, tentu ending ini sudah tertebak—lebih tertebak dari film seri mana pun. Beberapa bulan terakhir memang United bermain seperti tidak ada arah, apalagi termasuk hasil hancur berantakan melawan seteru abadi Liverpool dan Manchester City. Yang terjadi tidaklah lebih dari memperpanjang penderitaan skuad dan Ole, sampai keputusan mengganti manajer diambil hari ini.
Saya termasuk orang yang sangat ingin melihat Ole sukses sebagai pelatih United. Kita tidak bisa memejamkan mata terhadap apa yang sudah ia capai selama tiga musim menjadi pelatih. Memang, hanya satu medali perak (dari Europa League) dan finis tiga besar beruntun di Liga Primer, tanpa piala. Tapi bukan berarti tanpa hasil sama sekali.
Ole mewarisi tim yang berada dalam kondisi buruk pada saat ditinggal Jose Mourinho—tanpa flair, tanpa semangat bermain, dengan mood yang kusut bukan main. Bukan saja Ole memulai dengan baik, Ole juga menghasilkan salah satu comeback terbaik dalam sejarah Liga Champions ketika, tanpa pemain inti, Ole menaklukkan salah satu tim favorit juara Paris Saint-Germain.
Pelan-pelan, Ole mengembalikan feel good factor ke dalam tim, sehingga tim bisa bermain lebih menyerang, lebih mirip ‘filosofi’ United. Kembalinya feel good factor ini juga dirasakan para pendukung, dan terlihat pula dalam hasil: menyamakan rekor kemenangan tertinggi United di Liga Primer (sembilan gol melawan Southampton), mencetak rekor jumlah tak terkalahkan laga tandang tertinggi sepanjang sejarah Liga Inggris (bukan hanya di Liga Primer, tapi di seluruh kasta liga), dan untuk pertama kali sejak Sir Alex Ferguson pensiun pada tahun 2013, United bisa mencapai finis tiga besar di Liga Primer sebanyak dua musim beruntun.
Tapi memang, kelas dan jam terbang tidak bisa bohong. Ole sering disebut pelatih yang minim taktik, dan saya juga bisa paham mengapa. Ada kalanya tim United di bawah Ole tampil sangat seru—misalnya saat tiga kali mengalahkan tim City di bawah Pep Guardiola. Di sisi lain, ada kalanya tim di bawah Ole tidak tahu harus berbuat apa di atas lapangan, sehingga hanya melakukan operan ke belakang atau operan ke samping (sideway passing) tanpa menciptakan peluang.
Ini mungkin kekurangan Ole yang menjadi sebab kejatuhannya. Kembalinya feel good factor ke dalam tim dianggap sebagai good vibes only, bahwa Ole hanya mengembalikan mood tapi tidak menambah apa pun pada kualitas. Maka ketika performa tim terus merosot akhir-akhir ini dan tanpa simpulan yang pasti, tentu Ole harus merelakan jabatannya.
Ada beberapa takeaway yang ingin saya jabarkan singkat.
Pertama, saya harus berkata bahwa ini bukan salah Ole semata. Sebagai permulaan, ada yang salah dengan manajemen klub yang tidak punya rencana suksesi yang jelas. Tarik-ulur antara kapan Ole harus diberhentikan dan siapa penggantinya menjadikan proses penggantian manajer ini menyakitkan. Selain itu, saya juga menyalahkan para pemain, yang terlihat dalam beberapa kesempatan tidak patut mengenakan seragam tim.
Kedua, betul sekali kata Sir Alex, bahwa pekerjaan sebagai manajer tim sepak bola—apalagi tim sebesar United—adalah pekerjaan yang sangat penuh kesepian. Dalam situasi baik, jarang orang mengomentari manajer bekerja baik, dalam kondisi buruk, semua menyalahkan manajer. Dalam kinerja tim yang buruk, manajer yang menerima semua tuduhan dan diberhentikan, bukan para pemain yang juga tidak dapat mewakili tim dengan baik.
Ketiga, slogan ‘pembangunan tim jangka panjang’ praktis sudah mati. Ole tidak bisa mendapatkan time luxury Sir Alex yang sempat morat-marit pada tahun 1986-1990 sebelum mulai mengumpulkan lebih dari 40 piala dalam 26 tahun karirnya bersama United. Meski klub sudah menegaskan sekeras apa pun bahwa mereka ingin membuat pembangunan jangka panjang, faktanya ketika kinerja tim sudah berpengaruh negatif terhadap nilai komersial klub, habis sudah karir manajernya.
Keempat, mungkin Ole sudah harus mundur setelah final Liga Europa beberapa bulan lalu. Bukan sekedar karena gagal, tapi justru mungkin itu momen terbaik untuk mundur on a high—ada di final kejuaraan Eropa dan finis kedua di Liga Primer. Melanjutkan ke musim ini mungkin adalah kesalahan, bukan saja bagi Ole, tapi juga untuk manajemen klub.
Terakhir, kita harus sama-sama sepakat bahwa Ole memang mencintai United. Banyak orang bermimpi menjadi pemain United, dan sedikit dari mereka bisa mewujudkannya. Dari jumlah itu, beberapa mungkin bermimpi bisa menjadi manajer klub, dan Ole berhasil pula mewujudkannya. Ia sangat ingin berhasil dengan United, dan ia tahu waktunya ketika sudah harus berhenti. Sedih memang, tapi tidak akan pernah mengurangi statusnya sebagai legenda klub.
Dari mulai gol injury time di Camp Nou, tendangan penalti di Parc des Princes, tendangan geledek melawan City di Old Trafford, dan untuk semua kenangan yang indah, terima kasih Ole.
Leave a Reply