Segala perjalanan pasti ada akhirnya. Begitu pula dengan Bapa Suci Paus Fransiskus, yang setelah menjabat sejak 2013, pada hari ini berpulang ke rumah Bapa usai menderita pneumonia ganda di usianya yang sangat lanjut.
Selalu menarik untuk mengamati kepergian seorang tokoh yang punya peran besar dalam sejarah. Memang, 12 tahun sebagai seorang paus cukup lama, meski bukan yang terlama—Paus Yohanes Paulus II menjabat 26 tahun lamanya. Namun, bukan berarti Paus Fransiskus tidak meninggalkan jejak sejarah. Ialah paus pertama dari Amerika Selatan serta paus pertama dari luar wilayah sejarah Romawi Kuno. Ia juga paus pertama yang berasal dari tarekat Serikat Yesus (SJ), sebuah fakta yang menarik mengingat usia dan peran penting SJ dalam sejarah Gereja Katolik Roma. Belum lagi mengingat latar belakang pribadinya sebagai Jorge Mario Bergoglio—karir sebagai bouncer, kontroversi perannya di tengah Perang Kotor Argentina, kecintaannya pada sepak bola, dan terlebih, yang selalu terngiang dalam memori banyak cerita tentangnya, adalah kesederhanaannya dalam hidup sebagai pemimpin umat.

Paus Fransiskus juga menyadari betul perannya sebagai pemimpin moral, di samping sebagai pemimpin salah satu agama terbesar di dunia. Kalau pemikirannya adalah membuat dirinya ditaati oleh jemaatnya mungkin tidak sulit. Namun, membuatnya jadi rujukan dan contoh umat manusia lintas keyakinan tidaklah mudah. Teringat kekaguman masyarakat Indonesia ketika Paus Fransiskus berkunjung ke Indonesia di tahun 2024 lalu. Dari mulai pilihan mobil hingga kunjungannya ke Masjid Istiqlal menjadi contoh seorang pemimpin yang tidak memilih mencontoh Paus Leo X—yang konon pernah berkata, “Tuhan sudah berikan jabatan paus pada kita, mari kita nikmati!”—melainkan untuk mengambil Kardinal Bergoglio sebagai contoh.
Banyak hal yang bisa dijelaskan mengenai Paus Fransiskus dan perannya dalam sejarah Gereja Katolik Roma dewasa ini. Namun, hal yang menarik setelah mangkatnya paus ini adalah rangkaian tradisi yang akan bermuara pada paus baru yang akan menggantikannya.
Seorang paus menggunakan tiga ‘topi’ untuk jabatan yang sama. Pertama, ia adalah uskup seluruh kota Roma (bishop of Rome), yaitu pemimpin tertinggi jemaat yang bermukim di ibukota Italia (di mana Negara Kota Vatikan ada saat ini). Kedua, karena ia adalah uskup kota Roma, ia ‘otomatis’ juga menjadi pemimpin dari seluruh umat Katolik di seluruh dunia (perhatikan bahwa kata ‘Katolik’ arti aslinya adalah ‘universal’, sehingga paus juga merupakan kepala gereja ‘universal’). Ketiga, ia adalah kepala negara dari Negara Kota Vatikan yang sekaligus menjadikannya kepala pemerintahan negara dan gereja yang termaktub dalam Takhta Suci (Sancta Sedes).
Untuk jabatan-jabatan di atas, ada kesan bahwa paus layaknya seorang raja dalam sebuah monarki. Namun demikian, jabatan paus tidak diwariskan turun-temurun, melainkan merupakan hasil dari sebuah pemilihan bersama di antara kardinal-kardinal di seluruh dunia yang disebut Konklaf (Conclave, dari kata Latin cum clavis, atau dikunci).
Karena paus baru saja mangkat, takhta kepausan kosong, untuk periode yang disebut Takhta Kosong (Sede Vacante). Sepanjang periode kosong ini, otoritas kepausan akan dipegang oleh Kepala Rumah Tangga Kepausan, yaitu seorang kardinal yang mendapat jabatan Camerlengo. Ia akan memegang tugas dan fungsi kepausan dalam ranah yang terbatas (ada hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh Camerlengo, misalnya menahbiskan kardinal baru), sepanjang periode berkabung hingga paus yang baru terpilih.
Periode berkabung yang dimaksud adalah periode berkabung selama sembilan hari yang disebut novemdiales, di mana umat dapat mengunjungi jenazah paus, sementara otoritas mempersiapkan pemakaman paus. Setelah itu, para kardinal dari seluruh dunia—yang berusia di bawah 80 tahun dan sehat—akan terbang menuju Vatikan untuk ikut dalam Konklaf.

Proses Konklaf diawali dengan misa memohon petunjuk dan rahmat dari Tuhan. Setelah itu, para peserta akan dibawa ke Kapel Sistina, di mana mereka akan duduk berhadapan di bawah lukisan Pengadilan Terakhir karya Michaelangelo. Petugas akan berteriak, “Extra omnes!” (Semuanya keluar!), kapel akan dikunci, dan pemilihan akan dimulai.
Para kardinal akan diambil sumpahnya di atas Kitab Suci, dan mereka akan menerima surat suara dengan tulisan Eligo in summum pontificem (saya memilih untuk menjadi paus tertinggi), lalu mereka akan menulis calon yang mereka pilih. Surat suara mereka akan dikumpulkan, dan kemudian dihitung.
Seorang kandidat akan terpilih apabila mendapatkan 2/3 suara dari peserta pemilihan. Begitupun, individu yang terpilih berhak untuk menolak, sehingga pemilihan akan kembali dilaksanakan. Biasanya, kecuali ada kandidat yang sangat amat populer, sulit untuk segera mencapai mayoritas yang dibutuhkan. Justru, perlu beberapa ronde pemungutan suara—diselingi dengan doa, intrik, negosiasi, dan kompromi—hingga ada satu kandidat yang terpilih.
Jika menyanggupi, kardinal yang terpilih akan diminta untuk memilih sebuah nama untuk jabatan kepausannya. Layaknya Karol Wojtyla yang memilih nama Yohanes Paulus, Joseph Ratzinger memilih nama Benediktus, atau Jorge Mario Bergoglio memilih nama Fransiskus. Ini serupa dengan monarki-monarki di Eropa di mana raja/ratu yang naik takhta akan memilih sebuah regnal name.
Apabila sudah ada yang terpilih, para kardinal lain akan mengucapkan selamat kepada paus yang baru, sementara surat suara yang sudah dihitung akan dibakar. Menurut tradisi, asap hasil pembakaran surat suara ini adalah satu-satunya cara Kapel Sistina mengomunikasikan hasil pemilihan ke dunia luar (karena isolasi selama Konklaf tidak membenarkan adanya alat komunikasi atau interaksi dengan dunia luar). Asap hitam artinya belum ada yang terpilih, asap putih artinya ada paus baru. Meski demikian, dalam sejarah, asap putih ini sangat sulit untuk dihasilkan—bahkan yang harusnya putih warnanya cenderung agak kelabu. Vatikan sudah lama memutar otak soal menciptakan asap putih ini, mulai dari mengubah tingkat kelembaban jerami yang dipakai untuk memperbesar api hingga menggunakan macam-macam campuran kimia. Karena tidak ada yang memberikan kepastian, akhirnya Vatikan melakukan langkah ‘terobosan’: salah satu genta terbesar di Basilika Santo Petrus akan ikut dibunyikan jika sudah ada konfirmasi bahwa paus baru betul-betul sudah terpilih (sehingga mengundang pertanyaan, mengapa tidak menggantikan asap dengan bel, tapi tentu saja asap putih adalah tradisi yang tetap menarik…)

Paus yang terpilih akan kemudian dibawa masuk ke dalam Ruang Air Mata, sebuah ruangan di sisi altar Kapel Sistina, di mana pakaian kepausan dan selopnya sudah tersedia dalam tiga ukuran. Ruang ini disebut Ruang Air Mata karena beban yang akan terasa di pundak paus terpilih akan membuatnya menitikkan air mata di tempat ini.

Beberapa saat kemudian, di balkon Basilika Santo Petrus, kardinal senior dari Kolegium Kardinal akan membuat pengumuman yang ditunggu-tunggu umat Katolik di seluruh dunia: “Saya umumkan kepadamu dengan sukacita yang luar biasa: kita punya Paus!” (Annuntio vobis, gaudium magnum: Habemus Papam!) Dengan pengumuman ini, paus yang baru akan diumumkan bersama dengan nama kepausan yang dipilih. Paus baru akan keluar menyapa umat, dan ia akan mengucapkan berkat Kepada Kota (Roma) dan Dunia (Urbi et Orbi) pertamanya sebagai paus.
Periode hingga terpilihnya paus baru akan sangat menarik—ini adalah Sede Vacante ketiga yang akan saya ikuti, setelah tahun 2005 dan tahun 2013. Entah siapa yang bisa dianggap sebagai kandidat terdepan, atau bahkan perdebatan lama soal Italia vs non-Italia, konservatif vs progresif, dan sebagainya.
Namun, segala hal menarik ini tidak untuk mengecilkan sama sekali duka cita atas kepergian Paus Fransiskus. Saya berandai-andai, kalau saja ia terpilih pada usia yang lebih muda (sebagai perbandingan, Paus Yohanes Paulus II terpilih pada usia 58 tahun, dan ia menjadi paus selama 26 tahun). Mungkin saja Paus Fransiskus akan menghadirkan perubahan atau reformasi terbesar dalam Gereja Katolik sejak Konsili Vatikan II. Atau mungkin, jika ia menjadi paus di waktu yang berbeda (misalnya tahun 1970an).
Lagi-lagi, kepausan akan berbeda setelah mangkatnya Paus Fransiskus. Gereja Katolik akan sadar peran seorang pedoman moral seperti Paus Fransiskus yang memberikan simpati lebih besar pada Gereja Katolik, dibandingkan seorang benteng teologi yang mementingkan infalibilitas Gereja daripada mendengarkan tantangan Gereja di abad modern ini. Tidak heran jika melihat komentar di media sosial, banyak yang mengidentifikasi diri sebagai tidak beragama atau umat Katolik yang meninggalkan agamanya (lapse) tapi bersimpati kepada Paus Fransiskus atau kepada Gereja di bawahnya. Meski akan selalu terdapat ketegangan antara kaum konservatif dan reformis di dalam Kuria Roma, semoga para kardinal menyadari kekuatan figur yang tidak takut menjadi kontroversi di tengah keyakinan moral yang sangat kuat, sehingga tidak heran, umat manusia dari ragam latar belakang harus mengakui figur Paus Fransiskus sebagai inspirasi moralitas.


Leave a comment